Namanya Abbas. Putra Sayidina Ali bin Abi Thalib dari Fatimah binti Huzam - yang beliau kawini sepeninggal Sayidah Fatimah as. Fatimah yang satu ini digelari Ummul Banin (Ibunya anak-anak), yakni ibu anak-anak Sayidina Ali yang bukan dari Sitti Fatimah. Ummul Banin, meski beliau bukan anak seorang Nabi, adalah seorang ibu yang mulia. Yang mendidik anak-anaknya untuk menjadi Muslim mulia. Kenyataannya, ketiga putra Ummul Banin semua syahid di Karbala, membela kakaknya, Sayidina Husayn as. Abbas, Abul Fadhl (artinya, ayah keutamaan), memang adalah yang paling utama di antara mereka. Banyak di antara kita tak mengenal Abbas bin Ali ini, karena memang belakangan, para ulama di kalangan Ahlus-Sunnah memutuskan tak banyak mengumbar kejadian tragis di Karbala karena khawatir membuka luka lama "perang saudara" di antara kaum Muslim awal. Padahal, kisah tentang Abul Fadhl Abbas diceritakan di kitab-kitab Tarikh utama Sunni. Tak kurang dari Thabari, Ibn Sa'ad, Abu Mikhnaf, dan banyak lagi sejarawan awal Sunni yang merekam kehidupan tokoh kita ini.
Mungkin tak seperti kita sekarang, para sejarawan, dan tak sedikit juga ulama awal Ahlus-Sunnah menempatkan diri dalam posisi tegas - yang sebetulnya sama sekali bukan posisi sulit untuk diambil - dalam tragedi pembantaian cucu Nabi, keluarga, dan para sahabatnya. Bagi mereka, peristiwa ini hanya boleh disebut perang saudara karena yang dibantai Muslim, dan yang membantai adalah juga orang-orang - yang mengaku - Muslim. Tapi soal siapa yang benar dan siapa yang salah, tak ada yang bisa ragu. Bahwa manusia mulianya adalah Sayidina Husayn sedang pihak Yazid dan komplotannya adalah para pelaku makar kejinya.Bahwa ini adalah peperangan antara kebaikan dan keburukan. Kembali kepada 'Abbas, dicatat bahwa tokoh ini adalah seorang pemuda gagah nan penuh kesalehan dan kebaikan, mewarisi kegagahan dan kebaikan ayahnya: Sayidina Ali bin Abi Thalib. Sejak muda dia sudah menjadi andalan dalam pasukan ayahnya, menghadapi musuh-musuhnya. Kehadirannya dalam peperangan selalu saja menakutkan musuh-musuh ayahnya. Sejak kecil, bahkan, dia amat dekat dengan Sayidina Husayn, kakak-tirinya. Meski berasal dari ayah yang sama, Abbas selalu menempatkan diri sebagai pelayan kakaknya ini. Jika kakaknya kehausan, Abbaslah yang buru-buru menyediakan air. Bahkan, akan kita lihat bahwa dia syahid ketika mengupayakan air buat kakak dan keluarganya yang kehausan di Padang Karbala. Sayidina Husayn pun selalu merasa tenteram jika ada 'Abbas di sisinya. Dia melawan blokade pasukan musuh atas sungai Furat demi mengambilkan air buat kakaknya, meski aksinya ini mengakibatkan kedua tangannya terputus oleh tetakan pedang musuh. Dia pun menggigit kantung air itu, hingga kepalanya terpenggal. Sehingga, selain "Bulannya Bani Hasyim", Abbas digelari "haamil al-qirbah" (pembawa kantung air) dan As-Saqaa (Pemberi Minum). Meski seorang adik, begitu hormat dia kepada kakaknya, sehingga ia tak mau memanggil kakaknya - yang adalah anak Siti Fatimah - kecuali dengan" ya sayidi ya mawlaaya" (Wahai Tuanku dan Pemimpinku). Hingga, hanya atas permintaan penuh tangis Sayidina Husayn - di masa akhir hidupnya - dia mau memanggil Sayidina Husayn dengan "kakak". Abbas juga adalah pembawa bendera dalam pasukan Sayidina Husayn, yang bertekad bahwa dia tak mungkin masih hidup jika kakaknya terbunuh. Dia harus mati sebelum kakaknya mati. Begitu mulianya Abul Fadhl 'Abbas. Dan ke makamnya saya sekarang sedang berjalan mendekat... Makin dekat, nuansa merah makin menonjol. Berbeda dengan, misal, nuansa warna Masjid Makam Imam' Ali Ridha di Masyhad, yang pernah juga sekali saya kunjungi (juga Makam Sayidina Ali bin Abi Thalib, yang akan saya kunjungi esok harinya). Biasanya, Masjid-masjid seperti ini, meski sama dihiasi bentuk-bentuk seperti sarang lebah (atau misykat/relung tempat menampung cahaya, merujuk pd kata "misykat" dalam al-Qur'an 24:35) warnanya merupakan kombinasi artistik antara coklat dan biru. Mudah diduga, warna merah tersebut adalah warna darah yang, pada gilirannya, menyimbolkan syahadah. Saya, bersama beberapa anggota rombongan, menyempatkan diri berwudhu, sebelum masuk ke masjid. Memasuki masjid, kami terlebih dulu membaca doa. Sebagai bagian adab berziarah, peziarah memang dianjurkan berada di luar makam untuk membaca doa sekaligus meminta izin untuk bertandang kepada tokoh yang diziarahi. Lalu kami menyempatkan shalat dua rakaat di luar area makam Abul Fadhl Abbas. Baru setelah itu kami masuk ke area makam. Sejak masuk masjid, sudah tampak berjubel para peziarah. Lebih-lebih di area makam. Meski tidak seperti banyak peziarah yang mengusap-usapkan syaal/sorban mereka ke pagar batas makam, tapi saya juga berupaya untuk berpegangan jeruji makam, untuk merasakan kedekatan dengan Abul Fadhl 'Abbas. Dan benarlah, rasa kedekatan itu yang saya rasakan. Meski, saya selalu bisa saja mengulang-ngulang membaca riwayat Abul Fadhl, bahkan berziarah dari jauh, kalau mau, tapi memang berziarah secara fisik ke makam, saat badan kita dekat kepada makam yang kita ziarahi, memberikan rasa kedekatan yang lebih nyata. Dengan demikian, juga keleluasaan untuk berkomunikasi dengannya. Setelah itu pun kami membaca doa ziarah di depan makam. Seperti di makam-makam lain, saya sendiri tak mengungkapkan keluhan-keluhan hidup saya. Yang paling mengharukan saya ketika berziarah, khususnya ke makam ini atau makam Sayidina Husayn dan ayahnya, bukanlah juga membayangkan nasib tragis mereka. Meski kisah hidup mereka tentu terbayang seperti film yang berlangsung di benak saya. Toh, mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan seumur hidup mereka, yakni syahadah. Dengan syahadah mereka telah langsung bertemu dengan Allah Swt, kekasih mereka. Seperti kata Sayidah Zaynab, adik Imam Husayn ketika dihina oleh para pembunuh kakak dan semuanya keluarganya di Padang Karbala, kita bisa berkata: maa ra'aytu illaa jamiilaa (tak kami lihat, dalam semua kesedihan ini, kecuali keindahan). Keindahan berkorban bagi Allah Swt, dan keindahan pertemuan dengannya. Tapi, yang paling mengharukan saya adalah ketika merasakan ketinggian dan kemuliaan orang-orang mulia yang saya ziarahi ini. Lalu melihat betapa jauhnya jarak saya dengan mereka. Ya, betapa rendah maqam diri saya. Hingga saya tak bisa lagi menahan tangis, ketika berdoa agar- dengan wasilah mereka - Allah membantu saya untuk memiliki keikhlasan dan cinta kepada Allah, dan kepada makhluk-Nya. Dua hal yang paling saya dambakan, tapi saya rasa paling sulit saya gapai... Hingga saya tinggalkan makam Abul Fadhl, menuju makam Sayidina Husayn - yang hanya terpisah plaza sejauh kurang dari seratus langkah dari situ. Kabulkanlah, Ya Allaah... Haidar Bagir 06022024
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|