Agak siangan di hari kedua itu saya pun bicara di depan forum. Saya, sesuai permintaan panitya, berbicara tentang pengalaman Mizan. Saya sampaikan bahwa ketika didirikan, Mizan memiliki setidaknya dua misi besar. Pertama, ikut menyajikan (ajaran) Islam secara intelektual dan progressif, demi menjawab tantangan zaman. Kedua, mempromosikan Islam moderat yang berupaya menyajikan pemahaman Islam dari berbagai kelompok Muslim berbeda - termasuk Sunnah dan Syiah - menuju persaudaraan dan persatuan Islam. Dan benar-benar bukan suatu kebetulan ketika para pendirinya memilih nama "Mizan" yang berarti "kesetimbangan". Maka Mizan selalu berupaya untuk menyajikan pandangan berbagai kelompok secara seobyektif mungkin, dan sepositif mungkin. Tanpa harus mengunggul-unggulkan satu atas lainnya. Mizan, pada saat yang sama, menolak untuk menggambarkan pandangan kelompok mana pun secara negatif - tentu tanpa harus menghindar dari sikap kritis terhadap ekses-ekses yang bersumber dari sikap yang berlebihan, dari kelompok mana pun.
Tentu saja, sebagai latar belakang, saya sampaikan bahwa, betapa pun, Indonesia adalah negeri Muslim yang dihuni mayoritas pengikut mazhab Ahlus-Sunnah. Maka, tentu saja alami - dan sejalan dengan prinsip kesetimbangan Mizan - belaka bagi penerbit ini untuk bersikap bijaksana dalam memilih judul-judul buku yang diterbitkannya. Baik dari segi kesantunan penyajian maupun dari proporsi pilihan penulisnya. Toh, selalu bisa didapatkan buku-buku berkualitas di bidang pemikiran, karya penulis dari kelompok mana pun. Orientasinya selalu adalah kontribusi terhadap pengembangan pemahaman Islam yang intelektual, progresif, obyektif, dan setimbang tersebut. Dan sesi saya adalah sesi terakhir sebelum penutupan. Maka, setelah itu, ziarah utama saya pun akan segera mulai... Sore itu, 3 bus dan beberapa mobil bergerak, menuju Karbala. Untuk menemui sayidush-shuhada, sayyidu syababil-jannah, cucu kinasih Nabi saw, Sayidina Husayn bin Ali bin Abi Thalib. Sedemikian sehingga Nabi saw bersabda: "Aku dari Husayn dan Husayn dariku. " (Ana min Husayn wa Husayn minni. " (Saat menulis ini pun, keharuan telah menelimuti diri saya). Ketika bus baru beringsut meninggalkan hotel, terdengar suara sirene. Ternyata dari mobil polisi yang mengawal rombongan kami! Saya pun jadi ingat sesuatu. Beberapa tahun lalu, seorang pejabat setingkat Menteri yang saya kenal baik, bercerita bahwa beliau diundang pemerintah Iraq untuk mengunjungi negeri ini. Dan, seperti biasa, mereka akan mengajak tamunya berziarah ke Najaf, mungkin juga ke Karbala. Dan, benarlah, dia akhirnya diajak berziarah, tentu dengan kawalan polisi. Dengan agak iru saya katakan kepada sang pejabat, mohon lain kali jika diundang ke Irak, ajak saya ikut serta. Tentu sebagai pribadi swasta biasa. Dan tentu saya akan bayar sendiri. Yang saya inginkan, jika masuk rombongannya, adalah, bisa berziarah dengan aman dan nyaman. Maklum, saya memang bukan jenis pelancong yang yangguh, dan siap dengan kondisi perjalanan yang menyusahkan. (Maka, meski ingin bisa ikut mengalami, tak terbayang bagi saya untuk pergi berziarah mengikuti rombongan peziarah "Arba'in", yang harus berjalan 4 hari menempuh jarak100 kiloan dalam terik panas dan jubepan manusia yang berjumlah jutaan. Menginap pun bisa di mana saja. Meski konon pelayanan warga di sepanjang jalan amatlah istimewa. Baik makan, minum, tempat beristurahat, penginapan. Sampai-sampai mereka menyediakan jasa pijat bagi peziarah yang kecapekan. Sayang keinginan saya nebeng sang pejabat belum terpenuhi. Dan, kali ini, apa yang saya inginkan ternyata benar-benar terjadi. Saya berjalan ke Karbala, dengan bus nyaman, dan dikawal polisi. Meski jalanan cukup lancar, sesekali raungan sirene mobil polisi itu terus terdengar. Hingga kami memasuki kota Karbala sampai area peziarahan. Karbala adalah suatu kota yang hidup. Bahkan sampai malam hari. Pertokoan, penjaja makanan di pinggir jalan, dan lalu lintas yang sibuk. Tentu smeua ini karena kehadiran makam Sayidina Husayn, keluarga, dan para pengikutnya. Karena dulunta, Karbala adalah padang pasir. Tak jauh dari Sungai Furat. Berdebar hati saya melihat pendar-pendar cahaya merah, yang bersumber dari Masjid Abul Fadhl Abbas - yang tampak dan memang lebih dekat daritempat bis kami parkir. Masjid Abul Fadhl memang berada dalam suatu area - disebut juga Haram - dengan Masjid yang menampung Makam Imam Husayn, dan yang lainnya. Maka melangkahlah kaki saya, bersama beberapa teman, menujunya. Assalmu'alayka, Yaa Abal Fadhl 'Abbas. Assalaamu' alayka yaa ibn Amiiril Mukminiin 'Aliyyibni Abii Thaalib. Assalaamu' alayka yaa Qamara Baniiy Haasyim... (bersambung)
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|