Malam itu, saya baru bisa tergolek di tempat tidur penginapan pada sekitar pukul 3 pagi. Karena, setelah selesai berziarah di Karbala - termasuk menziarahi makam sahabat-sahabat dan pembela Sayidina Husayn di area yang sama, di antaranya Habib ibn Mazhaahir, anak bayi Sayidina Husayn (Abdullah ar-Radhii') sebagai syahid termuda di Karbala, serta cucu Imam Hasan yang salih - kami langsung menuju Kufah. Jadi, malam itu kami menginap di Kufah. Pada pukul 9 paginya, kami sudah harus berkumpul di lobi Hotel, untuk menuju ke makam Sayidina 'Ali bin Abi Thalib. Sesampainya di sana, kami memulai kembali prosesi ziarah di makam sepupu dan sahabat utama Nabi saw, sekaligus menantu beliau. Suami Sitti Fathimah, dan Bapak Ahlul Bayt, penurun manusia-manusia mulia pemandu ummat. Kami masuk dan meminta izin dengan membaca doa pembuka ziarah, lalu berdoa lagi di hadapan makam manusia mulia ini, sambil menyempatkan diri sedikit berdesakan dengan jamaah peziarah lain yang berjubel di dalamnya, untuk sekadar tepekur sambil berpegangan pada jeruji makam beliau.
Saya tentu tahu bahwa Sayidina Ali adalah seorang kesatria perang, bahkan saat beliau masih berusia belasan tahun, termasuk menaklukkan musuh perkasa umat Islam bernama Amr bin Wudd. Atau ketika beliau menaklukkan musuh setelah sebelumnya menjebol pintu benteng kukuh Khaybar dengan tangannya. Sehingga suatu saat Nabi saw bersabda: Laa fataa illaa 'Ali, wa laa sayfa illaa Dzulfiqar (tak ada kesatria seperti Ali, dan tak ada pedang seperti Dzulfiqar). Tapi bukan itu semua yang memenuhi benak saya ketika berziarah ke makam beliau. Bukan itu yang membuat pundak saya bergetar menahan isakan tangis. Bahkan tidak juga kisah penikaman beliau oleh ibn Muljam - yang petilasannya juga dipertunjukkan di area makam beliau. Jangankan bersedih, Sayidina Ali bahkan sudah tahu tentang makar si Khawarij sebelum ia melakukannya. Bukan itu saja begitu belati menikamnya, Sayidina Ali justru berseru: "Fuztu bi Rabbil Ka'bah! (Aku telah menang, demi Rabbnya Ka'bah)." Bagaimana bersedih, sedang masa penyatuannya dengan Kekasihnya inilah yang lama dia tunggu-tunggu? Sedang dunia sudah lama dia talak tiga? Bukan hanya karena sudah banyak kisah itu diceritakan orang, tapi lebih karena bukan itulah karakter utama Sayidina Ali, menurut saya. Sebagaimana kisah Imam Husayn yang lekat dengan pembantaian tragis yang menimpa diri dan keluarganya padahal sesungguhnya kisah hidupnya adalah kisah cinta, adalah demikian juga halnya dengan Sayidina Ali. Sang kesatria sesungguhnya adalah seorang pencinta sejati Seperti pernah saya tulis sebelumnya, memang fataa sama sekali bukan hanya kesatria perang yang sakti mandraguna dalam menaklukkan musuh-musuhnya. Di atas semua itu, fataa adalah penakluk diri sendiri - ego angkara-murka yang selalu cenderung mendorong ke arah pembangkangan kepada Allah. Fataa tentu saja adalah mujahid. Tapi bukan hanya mujahid dalam peperangan, melainkan mujahid al-nafs (kesatria perang melawan diri sendiri). Seperti kata Nabi saw. kepada Sayidina Ali sendiri (yang dikutip banyak sufi) : ”Wahai Ali! Seorang fataa adalah orang yang jujur, percaya, amanah, pengasih, pelindung kaum papa, amat dermawan dan santun, gemar berbuat amal-amal baik, dan berpenampilan sederhana.” Ya, fataa adalah orang yang hatinya sudah bebas egoisme dan pengagungan diri dan, sebagai gantinya, dipenuhi kasih dan kebaikan hati kepada sesama. Maka di benak saya berputar-putar berbagai kisah tentang tokoh ini - tokoh yang juga digelari imam al-mustadh'afiin (Penghulu Kaum Tertindas) dan Abul Masaakiin (Bapak Kaum Papa). Di antaranya, pernah seorang sahabatnya panik dan berlari menuju Siti Fathimah seraya nyerocos: "Suamimu mati! Kulihat tubuhnya kaku di atas tanah seperti batang pohon kurma." Bukannya kaget, Sitti Fathimah tersenyum sambil menyahut: "Sudah biasa dia begitu..." Rupanya, begitulah penampakan Sayidina Ali ketika sedang fana dalam pengalaman spiritualnya bertemu dengan Allah Swt. Juga, banyak orang mungkin bertanya-tanya, kenapa Sayidina Ali pasrah saja kepada Mu'awiyah saat yang disebut terakhir mengkhianati tahkim (arbitrase) dalam Perang Shiffin, padahal pasukan musuh sudah hampir takluk? Sulit mencari jawaban lain kecuali bahwa pada dasarnya Sayidina Ali adalah manusia yang lembut hatinya, yang tak bisa tahan melihat penderitaan yang menimpa orang akibat perang saudara seperti itu. Bahkan, jika kita kembali ke awal penunjukannya sebagai Khalifah Keempat, kita dapati bahwa beliau sempat mati-matian menolak untuk memenuhi permintaan orang banyak itu. Seperti ditulis dalam Nahj al-Balaghah, sesungguhnya beliau merasa di-fait accomply sehingga tak bisa berbuat lain kecuali menerimanya. Tak banyak juga orang tahu bahwa beliau adalah seorang petani andalan, yang sering mendermakan hasil panen hasul kerja-kerasnya buat orang-orang susah. Bahkan, ketika beliau harus mengalami sakaratul maut akibat tikaman anasir Khawarij itu, beliau sempat menasihati kedua putranya agar tak mempersekusi mereka. Karena, beda dengan orang-orang munafik yang memang mencari keburukan, Khawarij terbentuk oleh orang-orang "yang mencari kebenaran tapi tak mendapatkannya'. Seperti sepupu, mertua dan Imamnya, Muhammad saw, Sayidina Ali di atas segalanya adalah teladan cinta dan kelembutan. Konflik dan peperangan bukanlah sesuatu yang mereka sukai, seperti kata Allah Swt. sendiri: "Diwajibkan atasmu berperang, meski kalian tak menyukainya." Memang, jika terjadi penindasan dan agresi, dan para penindas dan agresor itu tak mengenal bahasa lain kecuali kekerasan maka, apa boleh buat, perlawanan harus dilancarkan. Inilah kisah Sayidina Ali, sang kesatria, yang seperti film tertayang di kepala saya, di hadapan makamnya. Assalamu 'alayka ya Haruun RasuulilLaah saw, assalaamu' 'alayka ya Abaas-Shibtayn. Kabarkan permintaan tolong faqir ini kepada Rasul kecintaanmu. Bantu aku untuk meneladani kekesatriaanmu, walau hanya sekecil debu. Di Najaf, di depan makamnya. Sampai, setelah sempat shalat Zhuhur berjamaah di tempat yang penuh berkah ini, kami pun beringsut pulang, untuk bersiap-siap pergi ke Masjid Kufah, di kota yang bersebelahan dengan kota Najaf ini. (Bersambung) Haidar Bagir 11022024
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|