Tak seperti salam ke Sayidina Husayn yang disampaikan dengan lebih perlahan, ketika orang mendekati makam, shalawat kepada Nabi dan keluarganya tak pernah henti dilaungkan para peziarah. Allaahumma shalli 'alaa Muhammad wa aali Muhammad. Tak pernah henti, bersahut-sahutan. Sejak pintu gerbang masuk hingga ke depan makam. Memang seruan shalawat ini tak henti terdengar di semua makam keluarga Nabi saw yang saya ziarahi. Apalagi ketika hilir mudik masuk rombongan pelayat jenazah kaum Muslim yang baru meninggal, yang hendak ditabarukkan di sana. Di seantero masjid. Tak sedikit pula rombongan peziarah berhenti di bagian dalam gerbang makam. Mereka bersama-sama membaca doa (dan) ta' ziyah (puji-pujian bercampur keluh kesedihan) kepada Sayidina Husayn. Sebagian membentangkan spanduk bertuliskan salam kepada cucu Nabi ini.
Kami pun mengulangi lagi prosesi ziarah, ketika memasuki makam area Sayidina Husayn bin Ali bin Abi Thalib. Membaca doa masuk makam seraya meminta izin. Masjid Sayidina Husayn (tentu) lebih besar lagi. Dan lebih bejubel dengan peziarah. Apalagi di dalamnya banyak makam keluarga dan sahabatnya, yang sama-sama terbunuh di Padang Karbala. Setelah membaca doa ziarah, lalu sebentar saya tepekur sambil merapatkan jejari di pagar makam. Kemudiaan shalat 2 rakaat tak jauh dari makam, sambil mengingat sanak kerabat yang menitipkan salam dan doa. Orang menyebut Sayidina Husayn dan keluarganya sebagai mazhlumin (orang-orang yang teraniaya). Mungkin, bagi sebagian orang, ini menunjuk kepada nasib tragis yang menimpa beliau. Tapi rasa saya berbicara lain. Mereka memang teraniaya, tapi bukan karena dibantai dengan sadis. Nasib tragis itu adalah takdir Allah. Mereka semua menerimanya dengan rela. Bahkan dengan bahagia. Toh Imam Husayn sudah tahu nasib yang menunggu di depannya. Tidak sekali, sampai di saat yang amat dekat dengan aksi pembantaian atas mereka, Imam Husayn sudah menyampaikan kepada para pengikutnya tentang nasib tragis yang menunggu mereka. Sampai-sampai Husayn as. membebaskan mereka dari bay'at yang pernah mereka ucapkan untuk terus bersama Husayn, apa pun yang terjadi. Beberapa kali. Tapi semua keluarga dan para pengikut Husayn bergeming belaka. Kesetiaan mereka tak pernah goyah. Mereka semua tahu bahwa pemimpin mereka bukanlah orang yang haus perang. Husayn as dan semua keluarga Nabi saw adalah orang-orang yang lembut, cinta damai, dan tak suka melihat penderitaan orang lain. Bahkan mereka tahu bahwa Sayidina Husayn berangkat ke Iraq bukanlah dengan tujuan berperang. Mana mungkin melawan ribuan pasukan Yazid dengan 70-an orang pengikut, yang sebagiannya adalah perempuan dan anak-anak? Tapi, bukankah Allah dan kakeknya memerintahkan amar ma'ruf nahiy munkar (menegakkan yang baik dan mencegah yang munkar)? Perang, bagi mereka hanyalah pengecualian, yang sejauh mungkin harus dihindari. Meski mati di jalan Allah bukan sesuatu yang mereka takutkan - bahkan mereka dambakan jika keharusan menegakkan kebaikan dan mencegah keburukan tak lagi menyisakan jalan lain. Sayidina Husayn pun sebetulnya sedang bertawaf di Ka'bah ketika permintaan penduduk Kufah untuk memimpin mereka dalam menghadapi kelaliman pemerintahan Yazid sampai kepadanya. Husayn, konon, bahkan tak sampai menyelesaikan tawafnya karena melihat ada tugas ketuhanan yang lebih mendesak untuk dilakukannya. Meski menghormati nasihat para sahabat senior yang mengkhawatirkan keselamatannya dan keselamatan keluarganya, Husayn memilih risiko itu. Apalagi, bukankah kakeknya sendiri bahkan sudah mendapatkan tanda-tanda itu ketika pasir di dekat Sang Nabi mendadak memerah, sedang Husayn masih seorang anak kecil yang diajaknya bercengkerama? Jauh dari dugaan orang yang tak terlalu mengenal Husayn, pemuda ini adalah seseorang yang penuh cinta dan kelembutan. Tak beda dengan Hasan as, kakaknya. Suatu kali orang mendengar dia berkata: "Merugilah perniagaan seseorang yang tak mendapatkan cinta Allah sebagai labanya." Husayn juga adalah anak didik Fathimah yang mendahulukan orang lain sebelum diri dan keluarganya (jaar qablad-daar). Lalu bagaimana dia akan membiarkan orang menderita di bawah sebuah tirani? Bagi saya, Husayn - dan keluarga (Ahlu Bayt) Nabi pada umumnya - layak disebut teraniaya karena mereka sama sekali tak pantas menerima perlakuan seperti yang mereka terima. Mereka adalah paragon cinta, buah kandung agama cinta, didikan langsung Muhammad saw sang Nabi cinta. Lalu pantaskah keluarganya diperlakukan demikian? Oleh orang-orang yang mengaku sebagai pengikut kakeknya itu? Kakek yang sering mencium bibir cucu kinasihnya ini? Sungguh Husayn dan keluarganya terzalimi. Tidak, sesungguhnya para penganiaya Husayn sedang menzalimi diri mereka sendiri dengan tidak semena-mena. Sambil tepekur di makam Husayn, saya tak bisa menahan keharuan. Lalu berdoa agar secuil cinta dan keikhlasan Husayn dan keluarganya terciprat kepada saya. Secuil saja. Salam untukmu wahai Husayn. Syahadahmu bukan cuma berarti kematian di jalan mempertahankan agama Allah. Syahadahmu adalah kesaksianmu, penglihatanmu, akan Allah Swt., padahal kau telah menyaksikan Allah jauh sebelum nyawamu meregang badan. Kesedihanmu hanyalah pagelaran bagi kami, para pengikutmu yang lemah, untuk mengajari kami tentang keniscayaan pengorbanan bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah. Karena, bukankah Allah sendiri berfirman: "Orang-orang beriman itu, amat intens cintanya kepada Allah"? Kepasrahanmu kepada puluhan panah para pembencimu hanyalah tanda bagi ketakpedulianmu akan wadag kasar dan kehidupan dunia ini. Tangis Sukaynah, anakmu hanya teladan bagi kami tentang penderitaan yang harus kami serahkan untuk menebus kenikmatan hidup bersama Sang Kekasih. Badanmu boleh bersimbah darah. Tapi, seperti yang menuntun Sukaynah untuk mengenali jasadmu yang tertutupi luka arang-keranjang itu, wangi tubuhmu mengabarkan kemuliaanmu di hadapan para fakir yang berharap menghamba pada Tuhanmu, bagi para muridmu yang terus ingin belajar untuk menjadi pembela kebaikan dan kebenaran, dan menghalau kemungkaran dan keburukan. Tanpamu, kami tak pernah tahu bahwa musuh kebenaran dan kebaikan bisa saja bertopengkan kemunafikan. Seolah beragama, padahal sebenarnya hanya sedang merusaknya. Bagi saya, menziarahi makam Sayidina Husayn adalah menyawang demonstrasi cinta yang tiada batas. Selebihnya, nyaris tak ada tempat di benak saya untuk Yazid, atau Ibn Ziyad, apalagi al-Hajjaj dan Syimir. Siapa mereka di hadapan menjulangnya pribadi agung ini? Sebentar saja mereka sirna, menghilang, menjadi nol, di hadapan Husayn alayhis-salaam... Maka terimalah pungguk perindu bulan ini. Gapai tangan lemah kami. Beri kesempatan kami, meski hanya untuk mengenangmu dan berkaca kepadamu saja... Saya pun meninggalkan kubah makam Husayn dengan perasaan campur aduk, untuk menjelang pertemuan dengan manusia-manusia mulia di sekitar Husayn, yang dimakamkan di area masjid yang sama. (Bersambung) Haidar Bagir, cendekiawan Muslim 08022024
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|