Bismillahir rahmanir rahim Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum. Diriwayatkan dari Imam Ja’far al-Shadiq as: إنّ المؤمن لينوي الذنب فيحرم رزقه Sungguh seorang mu’min yang berniat melakukan dosa, maka terhalanglah (dari) rezekinya. (‘Iqab al-A’mal, juz 2, halaman 109, no. 165) Sebab, menurut ‘Allamah Muhammad Shanqur ‘Ali Haidar, kepala Hauzah al-Huda di Bahrain, hanya sekedar niat saja melakukan dosa itu sudah termasuk su‘ul khuluq (akhlak buruk) dalam kebersamaan kita dengan Allah SWT. Mengapa demikian? Karena seakan-akan Allah SWT tidak memperhatian apa yang tersimpan dalam batin kita yang paling dalam. Karena niat buruk itu termasuk su‘ul khuluq, maka akan memberikan bekas-bekas negatif pada jiwa. Ia meninggalkan kegelapan pada jiwa. Makanya, kegelapan yang dihasilkan dari hanya sekedar niat buruk itu sudah mampu menghalangi seorang hamba dari sebagian rezeki-rezeki ilahi khususnya rezeki yang berdimensi ruhaniah/batiniah, seperti menghalangi bashirah (mata batin) untuk dapat lebih tajam dan mencerap cahaya, menghalangi perjalanan akal untuk lebih menyempurna, menghalangi perjalanan hati untuk lebih bersih dan selamat, menghalangi jiwa untuk lebih tenang dan tentram, menghalangi adab batin untuk lebih selamat, menghalangi akhlak dan malakah diri untuk lebih dapat mencapai kemuliaan-kemuliaan, menghalangi seorang hamba untuk lebih dapat menemukan dan memahami keindahan serta hikmah ilahi dalam lika-liku kehidupan. Bukankah semua yang disebutkan barusan itu juga termasuk rezeki bahkan penentu utama dalam perjalanan hakiki seorang hamba? Bukankah apa yang ada dalam hati, jiwa, pikiran dan akhlak itu semua merupakan faktor penentu bahagia atau tidak bahagianya seorang hamba dalam berinteraksi dengan apa-apa yang ada di sekitarnya dan bagaimana ia terpengaruh olehnya? Oleh karena itu, mulailah dari keselamatan niat. Salah satu cara untuk mengikis sekedar niat buruk tadi adalah dengan membiasakan “menitipkan” kesalehan dalam niat-niat kita. Ini berdasarkan berdasarkan pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa Aalihi wa sallam kepada Abu Dzar al-Ghifari: يا أبا ذر! ليكن لك في كل شئ نية صالحة حتى في النوم والأكل Wahai Abu Dzar, hendaklah kau memiliki niat yang saleh dalam segala hal. Meskipun dalam hal tidur dan makan. (Makarim al-Akhlaq, al-Thabarsi, halaman 464) Apa itu niat saleh? Seluruh hidup kita diniatkan untuk meraih ridha Allah SWT. Apa yang hendak dipikirkan, diucapkan dan dilakukan kita niatkan sebagai wasilah (perantara) untuk taqarrub ilallah. Semuanya dalam koridor menghamba hanya kepada Allah SWT. Tidak (boleh) ada yang lain. Titipkan niat shaleh meskipun pada perbuatan-perbuatan atau gerak-gerik yang mungkin bagi sebagian orang mungkin sudah dianggap remeh atau dianggap biasa-biasa saja (dianggap biasa-biasa saja karena sudah menjadi keseharian, sudah menjadi kebiasaan, kelaziman) misalnya: ketika ingin duduk, berdiri, membuka pintu, mengambil barang-barang, ingin menyampaikan sesuatu, ingin bersikap ramah kepada sesama, membuka lock/password Hp, scroll media sosial, merespon chat orang lain, membaca berita dan informasi dan lain-lain. Mungkin selama ini semua perbuatan tersebut dilakukan begitu saja tanpa diiringi niat shaleh, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan. Di sinilah pentingnya perhatian dan kesadaran extra akan hal-hal yang bersifat batin, realitas non-materi di balik apa yang dapat ditangkap indera fisik kita. Padahal menitipkan niat shaleh dalam perbuatan-perbuatan semacam itu pun memiliki efek-efek ruhani yang positif bagi kesehatan jiwa dan akal kita. Niat shaleh membantu kita membentuk benteng-benteng agar tidak jatuh dalam jurang ketergelinciran. Tergelincir dalam berpikir, berucap dan berbuat. Niat juga sangat teramat penting karena ia membentuk bahkan menentukan “citra” diri kita di alam yang lebih tinggi. Dengan niat kita merajut benang-benang diri kita di alam sana. Salah satunya efek membiasakan niat shaleh adalah insya Allah kita tercegah dari melakukan sesuatu yang alih-alih itu perbuatan baik tetapi justru berangkat dari keakuan kita, perbuatan yang ujung-ujungnya ingin menampakkan atau memuaskan “aku”-nya kita. Begitu pun dalam berkata-kata, begitu pun ketika kita ingin menyampaikan sesuatu yang alih-alih isinya mengandung kebaikan dan kebenaran, tetapi berkahnya bisa hilang bahkan nilai (manfaat) hakikinya terhalangi jika semua itu berangkat dari keakuan. Saudara sebagai orang tua boleh jadi menasehati (atau memarahi) anak-anak karena mereka berbuat salah dan nakal, itu bagus. Bagus karena yang saudara sampaikan kebaikan dan kebenaran. Tetapi bila dalam menasehati itu saudara digerogoti niat atau ada dorongan batin tipis-tipis (baca: dorongan halus) untuk memuaskan “aku”-nya saudara yakni ingin melampiaskan superioritas posisi saudara di hadapan anak itu. Saat itulah bisa jadi apa yang saudara sampaikan kepada anak-anak itu berkahnya hilang. Niat shaleh itu mengajarkan kita agar semua yang dilakukan bukan diarahkan untuk “aku”-nya kita—tanpa disadari—. Semua gerak zhahir maupun batin kita harus diarahkan sebagai penghambaan kepada Tuhan. Sebenarnya bukan hanya gerak kita, bahkan... perhatikan firman Allah SWT ini: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat: 56) Mari mentadabburi dan mentafakkuri ayat yang sangat teramat sering dibacakan ini. Dalam ayat itu digunakan kata “khalqtu” (Aku menciptakan). Berbicara tentang penciptaan itu berarti terkait wujud, eksistensi kita. Keberadaan kita itu sendiri. Jadi menurut ayat itu bukan hanya gerak kita yang harus diarahkan sebagai penghambaan, tetapi bahkan wujud kita itu sendiri tidak boleh keluar dari koridor penghambaan. Bagaimana caranya? Jawabannya ada dalam ayat itu juga. Pola ayat tersebut sama dengan kalimat agung “La ilaha illa Allah” (Tidak ada tuhan selain Allah) yang sering dibaca. Dalam kalimat tahlil, kita menafikan dulu dengan kata “tidak”, setelah seluruh tuhan-tuhan palsu dinafikan barulah kita berikrar bahwa hanya Allah SWT sebagai Tuhan yang hakiki. Nah, dalam ayat itu juga dinafikan dulu seluruh tujuan penciptaan selain menghamba-beribadah, setelah itu barulah ditetapkan bahwa menghamba-beribadah merupakan tujuan hakiki eksistensi kita, maksud keberadaan kita itu sendiri. Mengapa dinafikan yang negatif dulu? Bukankah bisa langsung ditetapkan yang positif? Ini tentang ikhlash. Dalam bahasa Arab, kata ikhlash terambil dari khalish yang berarti: bebas dari sesuatu, jernih, murni, tidak bercampur dengan sesuatu yang lain. Tidak dikatakan ikhlash bila masih bercampur. Dalam perjalanan menghamba yang begitu panjang dan penuh rintangan ini kita berupaya agar niat dan dorongan batin tidak boleh bercampur dengan “aku”-nya kita. Menghamba adalah perjalanan mengikis keakuan di hadapan-Nya. Ketika iblis menentang perintah Tuhan dengan berkata “aku lebih baik dari dia (Adam)”, sebenarnya dosa pertama iblis bukan takabbur. Dosa pertama iblis mengucapkan “aku” di hadapan Tuhan. Kata pertama yang dia ucapkan adalah “aku”. Baru setelah itu dia berkata “lebih baik dari dia (Adam)”. Jadi takabbur itu dosa kedua, sedang dosa pertamanya adalah karena ia memulai sesuatu dari keakuannya. Konon iblis itu terkenal sebagai ahli ibadah jutaan tahun tahun lamanya, tetapi dengan seluruh ibadahnya dia tidak menjadi ‘abd (hamba sejati). “Aku”-nya menjadi hijab penghalang mencapai maqam ‘abd. Ibadahnya tidak ikhlash—dengan mengacu pada makna ikhlash secara bahasa tadi—karena bercampur dengan “aku”-nya. Artinya, ibadah yang sejati adalah ibadah yang minus keakuan diri. Betapapun mulianya suatu ucapan dan perbuatan, jangan sampai ujung-ujungnya bercampur untuk tujuan aku. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan doa ini kepada Sayyidah Fathimah al-Zahra’ as: يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ! أَصْلِحْ لِي شَأْنِيَ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan *jangan Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau hanya sekejap mata Doa itu tercatat di kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jilid 1, halaman 730, riwayat no. 2000. Satu di antara tafsir kalimat “wa la takilni ila nafsi tharfata ‘ainin” (jangan Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau hanya sekejap mata) adalah bahwa segala sesuatunya harus berawal dari Tuhan dan berakhir pada Tuhan, dan niat itu termasuk di antaranya. Jadi, membiasakan niat shaleh merupakan wasilah (perantara) agar kita bergerak dari apa yang aku inginkan menuju apa yang diinginkan Tuhan. Itulah ‘abd, penghambaan sejati. Ia yang bergerak dari “kesempurnaan” sebatas menurut persepsinya menuju kesempurnaan hakiki yang nirbatas. Semoga berkah dan bermanfaat. Mohon doanya. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum. *** Penulis: Muhammad Bhagas, S.Ag (alumni UIN SGD Bandung)
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|