Selain tingkatan sabar, para ulama membagi lagi Sabar dalam beberapa jenis. Di antaranya: 1. Sabar an Muharomat Sabar dari segala yang diharamkan. Kadang Syahwat kita mendorong kita untuk merasakan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang didapat melalui tindakan yang haram. Walau kadang dorongan itu muncul sekilas. Ada seorang pemuda datang pada Rasulullah Saw sambil berkata: "Celaka diriku Ya Rasulullah." Rasul bertanya: "Apa yang engkau lakukan ?" Pemuda itu berkata: "Aku melakukan dosa besar." Rasul bertanya lagi: "Apa dosamu lebih besar dari gunung Uhud?" "Bahkan lebih besar Ya Rasululah." "Apakah dosamu lebih besar dari bumi ini?" "Bahkan lebih besar Ya Rasulullah." "Apakah dosamu lebih luas dari langit?" "Bahkan lebih luas Ya Rasululah." "Wahai pemuda sesungguhya Ampunan Allah jauh lebih luas dari dunia ini dan seisinya. Ceritakanlah dosamu?"
Pemuda itu menceritakan: "Aku seorang penggali kubur Ya Rasululah. Setiap aku menggali kubur disiang hari dan dikuburkan jenazah maka malam harinya aku gali kembali dan aku lucuti kafannya untuk kujual di pasar. Hingga tadi malam. Ketika aku gali jenazah yang kudapati seorang gadis dan ketika kafannya kulucuti, cahaya bulan menerangi tubuhnya, syetan mendorongku untuk melakukan maksiat. Aku puaskan hajatku. Setelah selesai aku henda berdiri. Tiba-tiba aku mendengar suara. "Celaka engkau. Engkau sudah merusak kehormatanku dan membiarkanku janabah hingga yaumil qiyamah. Aku akan menuntutmu dihadapan Allah agar menghancurkanmu di neraka." “Sungguh diriiku celaka Ya Rasulullah," ucap pemuda itu. Rasul berkata: "Celakalah dirimu." Pemuda itu berlari meninggalkan Madinah hingga Jibril a.s. datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: "Ya Rasululah, Allah menyampaikan salam untukmu. Sesungguhnya Allah telah menerima taubat pemudaa tersebut." Kemudian Rasulullah mencari pemuda tersebut dan ditemukan ia berada dipinggiran Madinah, di sahara yang gersang mengikat tangan dan kakinya, menangis memohon ampunan. 2. Sabar fi Thoah Sabar dalam ketaatan. Kadang melakukan kebaikan itu tidak selamanya indah seperti yang diharapkan. Sahabat saya seorang pengusaha dan karena perusahaannya semakin membesar ia mempercayakan sebagian besar usahanya pada seorang sahabatnya. Ia percaya betul karena selama dialah yang menyelamatkan kehidupan sahabatnya tersebut dari beragam persoalan. Dialah yang membantu sahabat dan keluarganya. Namun tanpa dia ketahui sahabatnya justru membangun sebuah perusahaan baru dengan seluruh fasilitas perusahaannya. Sampai tiba-tiba sahabatnya mengambil alih konsumen, karyawan bahkan beragam proyek perusahaannya dan membiarkan perusahaannya hancur. Kita bisa bayangkan perasaan sahabat saya itu. Tapi dia tidak marah, dia bangkit lagi dengan staf-staf yang masih setia. Ia menjadikan staf-staf itu juga sebagai pemilik saham dann berjuang kembali menghidupkan perusahannya. Begitulah kadang kehidupan. Seperti pepatah "Air susu di balas air tuba". Menyakitkan memang. Tapi apakah kita akan berhenti berbuat kebaikan? Imam Ali Zaynal Abidin salamullah alaihi, cicit Rasulullah Saw yang mulia berkata: "Jangan pernah lelah dalam berbuat kebaikan karena setiap kelelahan dalama kebaikan akan Allah gantikan dengan kenikmatan yang tanpa batas.” Bukankah kita selalu membaca : هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَانُۚ Adakah balasan kebaikan selain kebaikan (pula)? (Ar-Raḥmān [55]:60) Mana yang akan kita pilih, membiarkan kebaikan kita sirna karena tak berbalas dan kita sakit hati karenanya atau terus melakukan kebaikan karena harapan kita akan kemuliaan disisi Allah? 3. Sabar fil Musibah Sabar ketika terjadi Musibah. Hidup selalu seperti itu, ada saja musibah yang tiba-tiba datang. Kadang belum selesai satu masalah muncul masalah yang lain lagi. Ada sahabat dekat saya sering bertanya: "Ustad kenapa Tuhan harus ciptakan manusia kemudian memberikan kesulitan kehidupan bagi manusia?" Pertanyaan yang filosofis. Tuhan tidak pernah menciptakan kesulitan. Kesulitan merupakan efek keterbatasan kita sebagai manusia. Manusia berupaya untuk 'menyempurna' sehingga banyak tantang yang harus dihadapinya. Musibah, bala, persoalan jika kita lihat secara ontologis disebabkan keterbatasan kita sendiri walau kadang kita tidak selalu siap menghadapinya. Rasulullah Saw bersabda: "Paling beratnya Sabar ketika awal terjadi musibah." Di sinilah sebenarnya ketahanan keimanan kita diuji. Bahwa kesadaran dan keimanan bahwa diri kita terbatas dan penguasa segala sesuatu adalah Allah SWT. Jika ketahanan keimanan dan kesadaran itu ada pada kita niscaya kita akan lebih kuat. Ayat yang selalu dibaca ketika musibah terjadi : اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali). (Al-Baqarah [2]:156) Pada hakikat mengajak kita untuk kembali sadar siapa pemilik dan penguasa semua ini. Betapa pun berat masalah yang kita hadapi pasti akan ada ujungnya dan Allah yang mengatur semua hal. 4. Sabar fil Sabar Sabar dalam kesabaran itu sendiri. Tanpa upaya untuk menguatkan kesabaran maka kesabaran itu bisa 'patah' di tengah jalan. Usaha yang kita lakukan menjadi sia-sia hanya kita belum melihat ujung dari semua hal ini. Di sinilah perlu menguatkan diri kita secara terus menerus. Bagaimana upayanya? Kita lanjutkan besok. Insya Allah.***
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
May 2024
Categories
All
|