Ramadhan adalah bulan kesabaran (syahr al-sabr), menguatkan jiwa kita untuk menghadapi ujian kehidupan. Puasa membuat kita sabar dan sabar menyempurnakan puasa kita. اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? (Al-‘Ankabūt [29]:2) Dalam kehidupan ini ujian datang silih berganti dan pada setiap bagian perjalanan kehidupan pasti di situ terselip ujian. Rasulullah Saw bersabda : أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ. يُبْتـَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَإِنْ كَانَ فِيْ دِيْنِهِ صَلاَبَةٌ زِيْدَ فِيْ البَلاَءِ “Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi. Kemudian orang-orang sholeh, lalu yang di bawah mereka, demikian seterusnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar agamanya (keimanan). Jika agamanya kokoh maka akan ditambahkan ujiannya.” Dihadapan ujian, bala dan musibah, hanya kesabaran yang dapat mengantarkan seseorang pada ujung keselamatan. Jika kesabaran begitu sulitnya maka ingatlah ada orang-orang yang diuji Allah jauh lebih berat dari apa yang kita alami. Ketika kuliah doktoral, saya memiliki sahabat yang sangat dekat. Sahabat saya ini mantan sekretaris menteri di negeri ini. Seperti ada chemistri di antara kami sehingga kami begitu dekat. Kadang kami memanfaatkan vila beliau di Puncak di antara waktu-waktu kuliah kami yang padat. Saya sering membantu beliau membuat tugas-tugas kuliah. Anak laki-laki beliau yang namanya di ambil dari nama kitab hadis-hadis akhlak cukup dekat dengan saya. Bahkan ketika mulai kuliah di ITB, saya mengantar ke Bandung. Dalam satu kesempatan, beliau secara khusus meminta saya ke rumahnya di bilangan Bintaro. Rumah itu cukup lumayan, berlantai dua persis di jalan raya Bintaro. Itu pertama kali saya ke rumah tersebut. Ada satu rumah lain yang lebih kecil tempat kami biasa berkumpul. Saya melihat rumah di Bintaro ini agak suram dan aura yang saya rasakan kurang mengenakkan, seakan ada hal-hal yang kurang baik terjadi di tempat ini. Kami ngobrol sambil menonton TV dan ngopi, dia tahu saya pecinta kopi. Kemudian beliau secara serius menatap saya dan berkata: "Khalid ada hal khusus yang ingin saya ceritakan. Saya ingin menitipkan putra saya kalau sesuatu terjadi pada saya." Saya sepenuhnya mendengarkan dan tidak ingin memotong cerita. Kemudian beliau melanjutkan: "Istri saya saat ini sudah tiada, dulu kami menikah karena masih ada ikatan keluarga. Di awal pernikahan tidak ada hal yang aneh dan semua berlangsung biasa. Suatu saat kami pulang mudik lebaran. Dalam perjalanan dari Jawa Tengah menuju Jakarta hampir saja mobil, saya tabrakkan karena begitu jengkel dengan kata-kata istri saya sepanjang perjalanan yang tidak mengenakan hati dan kadang menyakitkan. Setelah itu istri saya semakin menjadi-jadi, kecurigaan dan suu zhon terhadap teman dan kolega saya. Bahkan kadang menunjukkan sikap yang tidak suka secara terang-terangan. Saya berfikir betapa buruk apa yang di hati istri saya ini. Ketika anak kami lahir beberapa kali anak saya hampir terbunuh, saat memandikan ia sempat membiarkan anak kami tenggelam, untung sekali segera saya selamatkan. Suatu hari ketika saya sedang di kantor, Pak RT menghubungi saya ada peristiwa yang terjadi di rumah saya. Istri saya terjun dari lantai 2 dan seluruh wajahnya hancur, saya membawanya ke Rumah Sakit dan dari situ kemudian saya ketahui bahwa istri saya menderita Schizofrenia (gila). Saya berusaha mengobati. Bahkan sampai ke luar negeri, dari medis hingga alternatif. Alih-alih sembuh malah semakin parah, hingga terpaksa saya putuskan untuk memasukan istri ke Rumah Sakit Jiwa. Namun semakin hari kesadarannya semakin sirna hingga tak mengenali lagi saya dan anak kami. Pernah saya pelukkan anak saya tapi tetap tidak merespon, saya hadapkan wajah anak saya hingga saya ciumkan. Tatapannya hanya kosong walau sempat ada tetes air matanya jatuh. Saya bahagia waktu itu, berfikir masih ada kemungkinan sehat tapi ternyata tidak, biaya pengobatan semakin membengkak, saya menjual barang-barang berharga yang saya miliki. Vila yang pernah dulu kita main kesana sudah saya jual, juga rumah yang kami pernah mampir, sekarang tinggal ini yang tersisa. Tidak ada anggota keluarganya yang peduli. Hingga saya tidak sanggup lagi, saya bawa kembali istri saya ke rumah setelah 15 tahun di rawat. Saya taruh di kamar atas, saya yang memandikan dan membersihkan kotorannya, menyuapi makannya, keadaannya lebih buruk dari mengurus bayi. Pekerjaan saya otomatis kacau dan hidup saya juga berantakan di saat yang sama saya harus mengurus putra saya. Saya kuliah memanfaatkan beasiswa untuk menambah income. Jelas kuliah saya tidak maksimal. Kemudian saya dapati tubuh istri saya panas tinggi dan saya merawat sebisanya karena tidak mungkin dibawa ke Rumah Sakit dan tidak ada dokter yang mau mengobatinya. Beberapa hari kemudian istri saya meninggal dunia. Entahlah apakah saya sedih atau lega. Belakangan saya merasa tidak nyaman, saya tidak tahu penyebabnya cuma kalau sesuatu terjadi, saya mohon kamu mau mengawasi putra saya." Saya memandang wajah sahabat saya ini. Sekali pun ia menceritakan kehidupannya yang berat, saya hanya melihat wajah yang sunyi, ada sedikit senyuman di ujung bibirnya, entahlah saya tak mampu menebak waktu itu. Cerita sahabat saya ini betul-betul menggores hati saya. Ternyata di balik senyumnya selama ini ada kegetiran kehidupan yang dia lewati. Satu tahun dari pertemuan itu, putranya menghubungi saya dengan nada sedih ia berkata: "Om Papa sudah nggak ada, mohon di maafin ya Om." Saya bertanya sebab kematiannya dan ia menceritakan: "Papa habis mengantar saya kerja Om dan kemudian polisi mendapati Papa meninggal di mobil di pinggir jalan dan mobil masih dalam keadaan On." (Belakangan putranya ini harus berobat atas penyakit yang sama dengan ibunya). Cerita hidup yang menyedihkan dan ujian yang jika menimpa saya belum tentu sanggup untuk menanggungnya. Bisa jadi ada juga sahabat kita yang lain yang ujiannya lebih berat. Lantas mengapa begitu berat bagi kita untuk menanggung derita yang tak sebanding dengan mereka? Sabar adalah permata para kekasih Allah. Jika anda ingin bergabung dalam barisan mereka maka hiasi derita yang anda alami dengan kesabaran. Itulah jalan keselamatan dan kunci pembuka pintu surga. Ramadhan adalah bulan kesabaran (syahr al-sabr), menguatkan jiwa kita untuk menghadapi ujian kehidupan. Puasa membuat kita sabar dan sabar menyempurnakan puasa kita. Saya memohon maaf untuk mengakhiri Kajian Ramadhan tentang Tafsir Sabar pada tulisan ini. Semoga apa yang saya tulis selama Ramadhan ini dapat menambal lubang-lubang dari ibadah saya di bulan suci Ramadhan ini. Saya mendoakan anda semua yang selalu menagih tulisan-tulisan sederhana ini. Semoga Allah meninggikan derajat anda semua. كن صبورا أحيانا يجب أن تمر بالأسو حتي تصل للأفضل Bersabarlah, kadangkala engkau harus menempuh kesulitan untuk sampai pada keutamaan. ***
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|