Selama ini kita memahami Sabar hanya terhadap derita yang menimpa. Apakah ada Sabar terhadap kenikmatan? Bukankah terhadap kenikmatan yang meliputi kita harus bersyukur? Betul, tetapi kitapun dituntut untuk bersabar di dalam kenikmatan. Tajul 'Arifin Amirul mukminin berkata : "Sabar terbagi dua bagian : ada sabar terhadap yang tidak kamu senangi dan ada sabar terhadap yang kamu senangi" Segala yang menyenangkan tentu merupakan kenikmatan bagi kita. Pasangan, anak, harta, prestasi, jabatan dan sebagainya. Al-Qur'an menyebutkan : زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik. (Āli ‘Imrān [3]:14) Namun di sisi lain al-Qur'an berkata : وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ࣖ Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar. (Al-Anfāl [8]:28) Bahwa di balik segala kenikmatan yang ada ini terselip ujian dan terhadap ujian seseorang harus sabar. Bagaimana Sabar dalam kenikmatan? 1. al-Intibah : Memperhatikan bahwa nikmat adalah ujian yang berbahaya. Banyak orang lolos dari ujian kesulitan tetapi hanya sedikit orang yang lolos dalam ujian kenikmatan. Kenikmatan membawa kelalaian, kesombongan, riya', keserakahan dan ketidak pedulian. Jika kita lihat al-Qur'an musuh-musuh utama para Nabi a.s. adalah orang-orang kaya, orang-orang yang sedang diliputi kenikmatan. Salah satu falsafah dari Infaq, Shodaqoh, Zakat adalah mengingatkan kita bahwa di balik harta yang kita dapat ini ada hak orang lain dan kita tidak diperkenankan untuk berbuat semena-mena terhadap rizki yang kita dapatkan sekalipun itu hasil kerja banting tulang kita siang dan malam. Upaya kita terus menyadarkan diri kita dalam kenikmatan merupakan bagian dari sabar. Kenikmatan yang kita miliki sejatinya bukan milik kita sekalipun itu adalah anak-anak darah daging kita sendiri. Kahlil Gibran penyair Lebanon itu berkata : "Anak-anakmu bukanlah milikmu tetapi mereka putra-putri sang Maha Hidup". 2. Menghindari Israf : Israf adakalanya kita sebut juga sebagai Tabzir atau Mubazir adalah tindakan berlebih-lebihan dalam pemanfaatan nikmat. Al-Qur'an mengingatkan : ۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. (Al-A‘rāf [7]:31) Islam mengajarkan kita untuk memanfaatkan beragam kenikmatan sebatas keperluan dan tidak berlebih-lebihan. Ali bin Abi Thalib as berkata : "Sungguh celaka orang yang berlebihan. Sesungguhnya dirinya paling jauh dari usaha memperbaiki diri". Umumnya orang seperti ini menghabiskan kenikmatan untuk kepuasan syahwatnya tetapi untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah menjadi sangat pelit. Sabar dalam hal ini adalah upaya untuk menahan diri dalam menggunakan kenikmatan tidak melebihi batas keperluan yang pantas. 3. Ri'ayah al-Tawadhu : Menjaga kerendahan hati. Seperti pepatah padi yang biasa dinasehatkan orang tua kita dahulu bahwa Padi semakin tinggi semakin merunduk. Demikianlah semakin banyak nikmat yang Allah berikan pada kita tidak melalaikan diri kita bahwa kita bukanlah siapa-siapa. Kenikmatan hanyalah kemurahan Allah untuk kita. Menjaga kesadaran akan hal ini merupakan bagian dari kesabaran dalam Nikmat. Ja'far Ash-Shadiq salamullah alaih berkata: "Kerendah hatian meninggikanmu dan kesombongan merendahkanmu". 4. Ri'ayah al-Qalb : Menjaga Hati kita agar kenikmatan tak memalingkannya dari Allah SWT. Ini kesabaran yang paling berat mengingat kenikmatan sangat mempengaruhi keadaan hati. Imam al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin mengutip satu hadits Qudsi : "Di dalam diri hamba-Ku ada ruang yang Aku bersemayam di dalamnya namun jika ruang itu dipenuhi dunia maka Aku akan meninggalkannya. Ruang itu adalah hati hamba-Ku". Hati adalah ruang terdalam di bathin kita. Ruang perjumpaan antara diri kita dengan Allah. Namun kenikmatan duniawi sering kali merasuk ke dalam hati kita sehingga perhatian kita, ingatan kita bahkan kesadaran kita diikat oleh kenikmatan tersebut. Orang yang hatinya tenggelam dalam pusaran kenikmatan duniawi ini menyebabkan dirinya hilang kesadaran akan Allah dan hakikat dirinya. Ketika ada orang gila lewat dihadapan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bertanya kepada Ibn Abbas: "Menurutmu bagaimana keadaan orang itu?" Ibn Abbas berkata: "Dia Majnun (gila) Ya Rasulullah" Rasulullah berkata "Tidak, dia sakit. Sesungguhnya orang yang majnun adalah orang yang melupakan Allah karena dunianya". Al-Qur'an mengingatkan : وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik. (Al-Ḥasyr [59]:19) Sabar dalam menjaga hati kita agar terus terhubung kepada Allah di saat kenikmatan tengah tercurah lebih berat dari berhadapan dengan musuh di medan perang. Sabar dalam kenikmatan adalah tanda keselamatan dalam jalan menuju Allah. *** Kholid Al Walid, Ketua STAI Sadra Jakarta dan Pengasuh Kajian Tasawuf MISYKAT TV
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|