Salah satu poin yang saya identifikasi dalam pemikiran Smith fase awal ialah pendekatannya yang bersifat sosialis. Terutama dalam konteks India, dia mendekati Islam dari aspek kelas ekonomi dan sosial. Asumsinya ialah bahwa agama, dan dalam hal ini Islam, seharusnya berfungsi sebagai ideologi. Pada fase berikutnya, orientasi sosialis ini mulai bergeser. Dia tidak lagi menekankan aspek sosial Islam sebagai sistem keyakinan, melainkan sebagai kualitas personal yang sublim. Kajiannya tentang Islam tak lagi berfokus pada masyarakat Muslim tertentu dan bagaimana Islam mengalami transformasi dari corak tradisional menjadi modern. Pada fase ini, Islam diletakkan dalam konteks lebih luas.
Ini tergambar jelas dalam buku kumpulan tulisan berjudul “On Understanding Islam,” yang terbit tahun 1981. Buku ini terdiri dari 16 tulisan yang ditulis dalam rentang waktu sekitar dua decade. Saya tidak punya buku ini, tapi bisa mengakses file pdfnya melalui perpustakaan kampus. Saya sudah download di laptop, dan jika ada yang berminat, saya akan share link ke Google drive. Dari buku ini tergambar cakrawala pemikiran Smith yang mulai bergeser. Kajian Islam fase ini menyediakan semacam pola yang membantunya menawarkan teori umum tentang makna tradisi dan iman. Karena tidak mungkin mendiskusikan kandungan buku ini secara detail, saya akan memberikan dua contoh untuk menunjukkan bagaimana kajian Islam dibawa ke level yang setara dengan studi agama-agama lain. Kemudian di bagian akhir, saya akan memberikan refleksi singkat tentang kesarjanaan Islam Smith. Contoh pertama ialah pertanyaan “Apakah al-Quran itu Firman Allah? (Is the Quran the Word of God?).” Sebagaimana sudah didiskusikan dalam status terdahulu, pertanyaan itu merupakan bab ke-2 dari bukunya “Questions of Religious Truth.” “Is the Quran the Word of God?” diletakkan dalam bab penutup buku “On Understanding Islam.” Dalam buku “Questions of Religious Truth,” Smith menegaskan bahwa walaupun bab 2 berbicara tentang al-Quran, tujuannya bukan untuk membicarakan berbagai aspek al-Quran seperti didiskusikan dalam Quranic studies. Maka, kita tak temukan perbincangan soal sejarah atau pesan Kitab Suci kaum Muslim itu. Dia tidak mendiskusikan konsep ortodoksi tentang wahyu dan watak pewahyuan al-Quran. Perhatian utamanya ialah darimana perbincangan seputar isu-isu “kebenaran agama” (religious truth) hendaknya dimulai dan direfleksikan. Jawaban atas pertanyaan “Apakah al-Quran itu firman Allah” menyediakan banyak bahan yang mensolidifasi argumen-argumen Smith yang diperkenalkan dalam berbagai karyanya. Yakni, bahwa agama itu dinamis dan tidak statis; bahwa agama itu bukan soal dogma-dogma yang baku, melainkan akumulasi tradisi yang terbentuk dari proses sejarah yang panjang. Lebih dari segalanya, pergeseran jawaban atas pertanyaan itu di kalangan Muslim dan Kristiani mengokohkan dua poin. Pertama, pendekatan personalis yang diperkenalkannya bisa menjadi alternatif dari kesarjanaan Barat yang cenderung melihat Islam sebagai tidak relevan bagi dunia modern. Kedua, ketika sekat-sekat yang mengisolasi dua komunitas keagamaan terbesar (Kristiani dan Muslim) lambat-laun melebur, maka pemahaman yang lebih simpatik mulai muncul dan berkembang. Contoh kedua ialah bab tentang Islam dalam buku “The Meaning and End of Religion.” Sebagaimana sudah saya katakan (dan mungkin saya ulas lebih detil dalam status berikutnya), buku ini bertujuan memproblematisasikan kategori “agama.” Kata “agama” ini enigmatik: Kita gunakan setiap saat dan merasa tahu artinya, tapi ketika diminta untuk mendefinisikan atau menjelaskan, baru kita merasa kesulitan. Tak ada definisi universal tentang agama yang disepakati. Smith sendiri mengusulkan supaya istilah itu dibuang saja, dan diganti dengan “faith” (iman) dan “cumulative tradition” (tradisi kumulatif). Nah, dalam konteks itu dia mendiskusikan proses reifikasi Islam. Yakni, bagaimana islam menjadi norma-norma yang dipersepsikan sebagai tuntunan dalam hidup. Kayaknya kata “reifikasi” dalam pengertian bagaimana agama mengambil bentuk seperti yang kita lihat saat ini memang pertama dilansir oleh Smith. Kenapa Islam disebutnya sebagai “kasus khusus” (special case)? Sebab, berbeda dengan agama-agama lain, nama “Islam” sudah diperkenalkan atau disebutkan dalam sumber-sumber fondasional. Maksudnya, menurut Smith, Tuhan sendiri yang menamai agama ini “Islam.” Agama Kristen, misalnya, sebagai identitas konfesional pengikut Kristus, pertama kali bersifat peyoratif yang dilabelkan oleh mereka yang menolak Kristus. Nama “Hinduisme” atau “Buddhisme” atau Konfusianisme”, kata Smith, baru mulai digunakan sebagai kategori agama pada abad ke-19 di Barat. Kasus “Islam” itu berbeda. Saya kutipkan kata Smith: "of all the world's religious traditions the Islamic would seem to be the one with a built-in name," for "it is not a name devised by the outsiders” (di antara tradisi agama-agama di dunia, hanya nama Islam yang sudah ada sedari awal (built-in) karena ia bukan nama yang dibuat oleh orang luar). Makanya, katanya, kaum Muslim menolak keras penggunaan kata “Muhammadanisme” untuk merujuk pada nama agamanya. Namun demikian, proses-proses historis yang dilalui sehingga menjadi “Islam” itu berliku. Jadi, proses reifikasi itu bertahap-tahap. Bahkan, pengertian Islam juga berkembang dan berubah dari zaman ke zaman. Poin terakhir ini mendapatkan reaksi beragam dari sejumlah sarjana, seperti Albert Hourani. Kritik Hourani sangat menarik, tapi akan terlalu berkepanjangan jika saya juga ulas di sini. Saya akan menutup dengan mengapresiasi kesarjanaan Smith yang sangat kaya. Kontribusi terbesarnya terletak pada upaya yang gigih menyandingkan studi Islam dalam jajaran kajian agama-agama. Islam tak lagi dilihat sebagai pengecualian, yang sekian lama mewarnai pandangan orientalis. Makanya aneh jika umat Islam sendiri justeru ingin agamanya disebut pengecualian! Namun demikian, tulisan-tulisan Smith tentang Islam tidak menawarkan suatu penyajian yang sistematis, sebagaimana dapat dinikmati dari karya-karya sarjana ahli Islam, seperti HAR Gibb, Montgomery Watt, atau Fazlur Rahman. Pembahasannya tentang al-Quran atau biografi Nabi, misalnya, jauh dari memuaskan. Konsep wahyu atau Tuhan muncul secara sporadik dalam berbagai tulisan yang berserakan dan tidak komprehensif. Boleh jadi kritik saya ini tidak pada tempatnya. Sebab, perhatian Smith memang lebih tertuju pada manifestasi Islam dalam kehidupan umat yang mengimaninya. Demikian dulu, nanti kita lanjutkan. *** artikel dari FB Munim Sirry
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|