Setelah menerbitkan karya pentingnya “The Meaning and End of Religion,” Wilfred Cantwell Smith semakin intens bergelut dengan isu-isu pluralisme agama. “The Meaning” bukan hanya menyediakan cara baru memikirkan kategori “agama/religion,” melainkan juga mengukuhkan perdekatan personalisnya yang memberikan penekanan khusus pada “iman/faith” para penganut agama yang berakumulasi menjadi tradisi. Dalam status sebelumnya saya menyebutkan bahwa Smith mengusulkan agar istilah “religion” diganti dengan “cumulative tradition.” Walaupun dalam status Fb itu saya mengatakan Smith gagal menghilangkan kata “religion/agama” dari percakapan intelektual, tapi harus saya akui bahwa saat ini kita mulai terbiasa menggunakan istilah “tradisi agama”, “tradisi Islam”, “tradisi Kristen”, dan seterusnya. Penyebutan “tradisi agama” atau “tradisi Islam” mengisyaratkan pengakuan ada banyak cara beragama atau banyak cara ber-Islam atau menjadi Muslim.
Dengan demikian, keragaman internal agama mendapat pengakuan yang semestinya. Dari keragaman internal dan kenyataan bahwa di dunia ada lebih dari satu agama, Smith merancang proyek baru merumuskan apa yang dia sebut “teologi dunia/global” (world theology). Untuk proyek itu, dia menulis buku trilogi (3 buku yang saling terkait), yakni “Belief and History” (1977), “Faith and Belief” (1979), dan “Toward a World Theology” (1981). (Dulu, tahun 2015, saya ikut-ikutan menyebut 3 buku sebagai trilogi: Polemik, Kontroversi, dan Tradisi, hehe). Terlalu banyak hal menarik yang bisa didiskusikan dari triloginya Smith. Dalam status ini, saya hanya akan menyorot tesisnya tentang “teologi dunia” dan akan dilanjutkan dengan “catatan kritis” dalam status berikutnya. Sebenarnya bagian ini yang paling saya nikmati dari gagasan Smith karena bersinggungan dengan minat intelektual saya sekarang tentang pluralisme. Namun, refleksi tentang gagasan Smith perlu diakhiri. Argumen utama buku “Toward a World Theology” ialah bahwa teologi seharusnya merangkul semua agama atau, secara resiprokal, dirangkul oleh semua agama. Penggunaan istilah “world theology” mengisyaratkan keinginan Smith agar agama-agama berada dalam tataran yang sejajar dan memperhatikan kemanusiaan global. Karenanya, dia tidak menggunakan istilah “teologi Kristen tentang agama-agama,” misalnya, atau “teologi Islam tentang agama lain,” dan seterusnya. Baginya, teologi dunia mengatasi sekat-sekat kategoris “Hindu”, “Budha”, “Yahudi”, “Kristen”, atau “Islam”. Sebaliknya, visi teologi yang dibayangkannya merupakan akumulasi dari masing-masing tradisi agama tanpa mengorbankan bagian dari kebenaran yang dipercaya dalam agama-agama itu. Teologi model ini, saya kutipkan bahasanya sendiri, “emerges out of all the religions of the world, or ... all the religious communities of the world, or ... all the religious sub-communities of the world human community” (muncul dari semua agama, atau semua elemen masyarakat beragama di dunia). Jadi, “teologi Kristen” atau “teologi Islam,” kata Smith, tidak memadai untuk merespons keragaman agama yang menjadi ciri masyarakat kontemporer. Sebab, teologi semacam itu hanya didasarkan pada satu tradisi keagamaan di tengah-tengah keragaman masyarakat beragama di dunia. Proyek Smith memang ambisius (dalam pengertian positif!). Dia mengimpikan suatu teologi bagi seluruh masyarakat dunia, bukan bagi penganut agama tertentu apalagi segelintir dari penganut agama tertentu. Itulah yang dia maksud dengan teologi perbandingan agama. Yakni, bukan membanding-bandingkan, melainkan suatu teologi yang dikonstruksi oleh semua dan dapat diterima serta relevan bagi semua. Atas dasar apa Smith merumuskan teologi dunia tersebut? Apakah proses “pertemuan” agama-agama itu dimungkinkan? Smith yakin itu bisa terjadi karena tiga alasan. Pertama, berbasis gagasan yang dikembangkan dalam karya-karya sebelumnya tentang pentingnya “faith/iman” untuk mempertemukan agama. Substansi dari agama, katanya, bukan terletak pada doktrin, kredo, atau praktik ritual, melainkan keimanan personal. Iman merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada semua kaum beriman, apapun agamanya. Sebagai karunia Ilahi, iman semua kaum beriman itu identik, yaitu “berkah pemberian Tuhan” (grace). Memang, iman diekspresikan berbeda dalam setiap tradisi agama. Namun demikian, intinya sama. Yakni, kualitas personal sebagai respons pada Yang Transenden atau Kebenaran. Karenanya Smith membedakan antara “faith” dan “belief.” Yang pertama bersifat internal, yang terakhir merupakan ekspresi historis (eksternal). Faith merupakan karunia Ilahi, sementara belief dipengaruhi oleh sejarah. Smith menolak istilah “iman Kristen” atau “iman Islam.” Yang benar, menurutnya, iman dalam Kristen atau iman dalam Islam. Iman kaum berbeda agama (hanya) berbeda bentuk, bukan jenis. Secara jenis, ia bersifat universal, namun diekspresikan dalam bentuk berbeda-beda. Dan tradisi agama merupakan akumulasi dari eskpresi iman yang berbeda-beda itu. Poin yang ingin disampaikan Smith ialah bahwa iman (faith) itu identik dalam semua agama dalam arti bahwa ia menjadi basis dari ekspresi keberagamaan yang berbeda (tradisi kumulatif). Aspek universalitas iman itulah yang, bagi Smith, menyediakan framework bagi pertemuan agama-agama. Kedua, kesinambungan (interkoneksi) sejarah agama. Betul, agama itu beragam. Jangankan antar agama, bahkan juga secara internal. Namun, sejarah agama-agama yang beragam itu saling terkait. Tak ada agama yang lahir dalam kevakuman, tak terkait dengan agama sebelumnya. Karena ketersambungan sejarah, maka agama-agama yang berbeda cenderung memiliki kesamaan yang banyak hal, baik itu cerita atau aspek-aspek hukum. Perlu ditekankan di sini, Smith tidak menyamakan semua agama. Dia mengakui fakta bahwa agama-agama itu berbeda! Jadi, yang dia maksud bukan “unity of religions” (kesatuan agama), melainkan“unity of religious history” (kesatuan sejarah agama). Mengatakan bahwa agama A dan agama B memiliki kesamaan sejarah tidak berarti keduanya sama dan identik. Kesatuan sejarah agama semata untuk meneguhkan bahwa secara historis agama-agama itu terkait satu dengan yang lain. Tugas teologi dunia/global, kata Smith, mengeksplisitkan kesatuan sejarah agama itu agar terbuka jalan bagi partisipasi penganut suatu agama berinteraksi dengan penganut agama lain. Kalau menggunakan bahasa umum: “Wong punya sejarah yang sama koq berantem terus, piye?” Ketiga, kesadaran bahwa kita hidup di tengah-tengah, dan menjadi bagian dari, masyarakat global. Kita tak hidup sendirian. Kesadaran itu menuntut kita mengetahui dunia di sekitar kita. Kita perlu dan harus tahu dan memahami apa yang diimani atau yang menjadi pandangan-dunia tetangga kita atau teman kerja kita yang berbeda agama, misalnya. Dari memahami apa yang diimani tetangga kita itu, kita akan menyadari bahwa iman kita sendiri sebenarnya bagian dari keimanan masyarakat global/dunia. Untuk menumbuhkan kesadaran itu, diperlukan pemahaman setahap demi setahap. Tahap pertama, ndak apa-apa kita melihat agama lain sebagai sistem kepercayaan yang berbeda. Tahap berikutnya, kita melihat agama lain sesuai dengan bagaimana penganut agama itu memahami agamanya (jangan gunakan kategori kita untuk menghakimi agama orang lain!). Tahap ketiga, kita melihat agama kita sebagaimana orang lain memahami agama kita. Dan tahap terakhir, maka jadilah kita semua sama-sama tahu apa yang diimani dan dilakukan masing-masing. Implikasi teologi dunia yang dicetuskan Smith akan mengubah cara kita melihat agama lain dan agama kita sendiri. Sebab, memahami yang lain sesuai dengan kategori mereka sendiri akan berujung pada pengetahuan yang tidak eksklusif “menurut saya.” Pengetahuan “menurut saya” perlu sejalan dengan pengetahuan “menurut mereka.” Ingat prinsip yang dipegang Smith: “Pernyataan saya tentang agama lain adalah benar, manakala penganut agama itu membenarkannya.” Pengetahuan semacam ini bersendikan pada saling pengertian, yang menjadi syarat bagi terwujudnya sikap saling menghormati. Pada akhirnya, “saling mengetahui” akan melahirkan konvergensi pemahaman. Saya akan kutipkan pernyataan Smith (halaman 76 dari “Toward a World Theology”): “knowledge that all intelligent men and women, participants and observers, can share, and can jointly verify, by observation and by participation” (sebuah pengetahuan yang orang-orang berakal, kalangan beriman maupun pihak luar, akan dapat menerimanya baik melalui observasi ataupun partisipasi). Maksudnya, teologi dunia akan memungkinkan kita untuk membuat suatu pernyataan yang dapat diamini oleh penganut satu agama dan penganut agama lain. Saya kira, konvergensi pemahaman itu sulit diwujudkan tanpa adanya keterbukaan para pemeluk agama berbeda untuk memikirkan dan menafsirkan ulang postulat-postulat tradisi agama yang diwariskan dari masa lalu. Sebab, jika kaum beriman bersikukuh pada kebenaran yang didefinisikan para pandahulunya, maka sulit untuk melihat tradisi agama lain sebagaimana orang lain memahaminya. Apalagi untuk merumuskan suatu pernyataan yang dapat diamini banyak pihak. Salah satu problem kita adalah kita mewarisi tradisi masa lalu yang konservatif (conservative legacy of the past). Hal itu berarti kita memang akan sulit berkembang seperti dibayangkan Smith, kalau setiap menghadapi masalah kita bereaksi: Wah itu sudah dibicarakan ulama-ulama kita terdahulu. Mereka sudah menuntaskan semuanya dengan metode yang tak perlu diragukan! Jika boleh menggunakan frasa anak sekarang: Reaksi semacam itu tipikal sikap “kaum sumbu pendek.” Karenanya, dapat dipahami, Smith beragumen bahwa faktor yang ketiga (yakni, soal pengetahuan yang menggabungkan “menurut saya” dan “menurut mereka”) melibatkan apa yang disebut “corporate critical self-consciousness” (masyarakat beriman yang punya kesadaran kritik-diri). Nanti dilanjutkan dengan catatan kritis yang lain. Kayaknya belakangan bahasa saya mulai agak serius ya, kurang popular haha. Selamat merayakan Paskah buat kawan-kawan Kristiani! *** (munim sirry)
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|