Tulisan sebelumnya mendiskusikan bagaimana pandangan John Hick berkembang secara gradual dari Kristologi tradisional menuju model pluralisme yang tidak menitikberatkan pada keunikan Yesus sebagai juru selamat. Perubahan bertahap itu penting dipahami untuk menegaskan bahwa gagasan pluralisme yang dikembangkannya tidak muncul secara tiba-tiba. Di awal karir akademisnya, Hick punya perhatian mendalam pada soal Kristologi, seperti terlihat dalam kritiknya terhadap pandangan D.M. Baille. Dalam bukunya, God was Christ (1948), Baille mengafirmasi kemanusiaan Yesus, tetapi tidak secara eksplisit menerima atau menolak ketuhannya. Dalam artikel tanggapannya berjudul “The Christology of D.M. Baille” (1958), Hick mengkritik Baille dan menganggapnya tidak patuh pada ajaran Kristen ortodoks karena merongrong ketuhanan Kristus. Lalu, kenapa Hick sendiri di kemudian hari mengingkari ajaran Kristen ortodoks? Mengapa dalam karya-karyanya pada tahun 1970-an dia menganggap konsep “inkarnasi Tuhan” sebagai mitos?
Dalam bukunya berjudul God and the Universe of Faiths (1973), Hick mengaku bahwa “Saya tidak lagi bisa bersikap sebagai seorang teolog Kristen yang berpandangan bahwa Kristen merupakan satu-satunya agama di muka bumi.” Dalam tulisan sebelumnya, saya mengatribusikan perubahan pandangan Kristologi Hick pada tiga hal: (1) kelanjutan dari teologi global terkait fenomena kematian yang digelutinya selama di Cambridge, (2) pengaruh Wilfred Smith, dan (3) iklim multikultural di Birmingham. Saya kira faktor terakhir ini paling dominan membentuk pemikiran pluralisme Hick. Dalam buku kumpulan tulisannya berjudul God Has Many Names (1980), dia mengaku sangat terganggu dengan implikasi pandangan teologi eksklusif terhadap nasib penganut agama lain. “Ketika pindah ke Birmingham di mana terdapat komunitas Muslim, Sikh dan Hindu, di samping juga Yahudi,” tulisnya, “[saya] semakin menyadari problem dari pandangan keagamaan eksklusivisme.” Jika apa yang diimaninya adalah satu-satunya kebenaran, maka berarti agama lain pasti salah. Faktor tersebut, di samping faktor-faktor lain yang bersifat epistemik, mendorongnya untuk menggagas perlunya pergeseran paradigma dalam beragama. Dalam bukunya God and the Universe of Faiths, Hick berargumen bahwa untuk menggeser paradigma lama diperlukan sebuah transformasi radikal atau apa yang disebutnya sebagai “revolusi Copernicus” (Copernican revolution). Hick mengacu pada revolusi saintifik yang terjadi pada abad keenambelas, yang diprakarsai oleh astronomer Nicolaus Copernicus (w. 1543 M). Yakni, matahari merupakan pusat beredarnya planet. Sebelumnya, pandangan yang dianggap kebenaran saintifik dirumuskan oleh Claudius Ptolemy (w. 170 M), seorang astronomer Mesir yang berpendapat bahwa matahari dan planet mengitari bumi. Selama sekitar 15 abad, deskripsi tata surya yang dikemukakan Ptolemy diterima semua orang, dan siapapun yang menolaknya dianggap menyimpang (heretic). Pada tahun 1543, sebelum meninggal, Copernicus menerbitkan karyanya berjudul Concerning the Revolution of the Celestial Spheres di mana di mengajukan sebuah teori baru yang menantang pandangan Ptolemy. Menurutnya, apa yang sebenarnya terjadi ialah bumi dan planet-planet lain mengitari matahari, bukan sebaliknya. Hick menjadikan revolusi Copernicus ini sebagai tamtsil pandangannya yang tidak menempatkan Yesus Kristus sebagai pusat teologi Kristen. Sebagaimana Copernicus menggeser paradigma lama yang memusatkan pada bumi dengan teori lain yang berpusat pada matahari, Hick mengusulkan sebuah teologi pluralisme untuk menggeser pandangan Gereja yang memusatkan pada Yesus dengan model (baru) yang menempatkan Tuhan sebagai pusat. Dengan analogi revolusi Copernicus, Hick bermaksud mengganti paradigma “Christo-centric” (berpusat pada Kristus) dengan “Theo-centric” (berpusat pada Tuhan). Bagi Hick, argumen keagamaan bahwa Yesus merupakan penyelamat seluruh umat manusia tidak lagi dapat dipertahankan. Kita perlu menempatkan Tuhan sebagai pusat; dan semua agama, termasuk Kristen, mengabdi dan berpusat pada-Nya. Dia berargumen bahwa pergeseran paradigma lama itu tak terhindarkan jika kita serius hendak mengembangkan teologi yang terbuka bagi keselamatan seluruh umat manusia, terutama non-Kristiani. Gagasan pluralisme Hick memang radikal dalam arti bahwa teologi inklusivisme dianggap tidak memadai. Dalam paham inklusivisme, kalangan non-Kristiani dimungkinkan mendapatkan keselamatan melalui Yesus. Sarjana inklusivis menggunakan berbagai istilah untuk menggambarkan model teologi inklusivisme, seperti “anonymous Christians”, “implicit faith” atau “baptism by desire.” Menurut Hick, semua konsep itu tak lebih dari upaya mempertahankan teologi model Ptolemy. Yakni, pandangan “Christo-centric” dalam beragama. Karenanya, revolusi Copernicus semakin terasa mendesak. Jika God and the Universe of Faiths menandai awal dari pendekatan teologi Hick yang cukup radikal, revolusi Copernicus dapat dikatakan sebagai pemicu yang mengarahkan dan mewarnai corak pluralismenya. Dengan revolusi Copernicus, maka Kristen tak lagi dapat dikatakan sebagai satu-satunya agama yang benar, atau agama yang superior dibanding agama-agama lain, atau keselamatan hanya bisa dicapai melalui Yesus. Agama-agama yang berbeda di dunia, termasuk Kristen, merupakan ragam respons manusia terhadap Tuhan yang maha benar. Respons yang mencakup beragam persepsi yang terbentuk dalam ruang kultural dan sejarah berbeda-beda. Salah satu implikasi dari pandangan teologis radikal tersebut ialah bahwa semua agama berada dalam tataran yang sejajar. Tak ada superioritas satu agama atas agama lain. Menurut Hick, tak ada argumen teologis ataupun moral yang dapat menjustifikasi pandangan supremasi keagamaan. Kenyataannya, di atas bumi terdapat banyak agama yang masing-masing dianut oleh jutaan manusia. Dapatkah satu agama dianggap valid karena didalamnya terdapat orang-orang baik dan memilih hidup zuhud, padahal fenomena semacam itu ada dalam setiap agama? Setiap agama mengajarkan kebajikan bagi para pemeluknya. Dan jutaan umat beragama mengambil inspirasi dari agamanya untuk berlaku baik. Jika kita amati setiap tradisi agama, tak sulit untuk menjumpai orang-orang baik yang dapat dijadikan panutan. Demikian juga orang-orang jahat ada di semua agama. Karena itu, sangat sulit – jika tak boleh dikatakan mustahil – untuk membuat penilaian yang tidak parsial terkait agama mana yang lebih baik atau superior. Kesimpulan kita tentang superioritas agama tidak dibuat berdasarkan pengamatan, melainkan telah disimpulkan sebelum mengamati. Kita mengklaim agama kita paling benar bukan karena membandingkannya dengan agama lain. Kita sudah punya kesimpulan itu bahkan sebelum melakukan perbandingan. Menurut Hick, pandangan yang menganggap agamanya sendiri sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan mengidap kontradiksi moral. Yakni, bagaimana mungkin Tuhan dapat dikatakan maha pengasih dan penyayang jika hanya memilih umat agama tertentu untuk diselamatkan. Pertanyaan serupa dapat dimunculkan. Misalnya bagaimana mungkin tak ada keselamatan di luar Gereja atau keselamatan hanya dimungkinkan bagi orang-orang sebelum agama kita muncul, padahal sifat Tuhan dari dahulu tidak berubah: Dia maha pengampun dan kasih-Nya tak berbatas. Lagi pula, kita tak dapat mengingkari faktor genetik dan geografis dalam beragama. Kaidah umumnya (tentu ada pengecualian) ialah orang-orang beragama Islam atau Kristen atau Hindu dan seterusnya karena dilahirkan dalam keluarga Muslim atau Kristiani atau Hindu. Maka, adalah absurd jika ada orang beragama tertentu berdasarkan kelahirannya mengklaim memiliki kebenaran agama yang mencakup segalanya, sementara orang lain tidak. Sebagian besar umat beragama mewarisi agama, bukan memilih. Jikapun memilih, ya kita memilih agama yang kita warisi dari orang tua/keluarga. Poin ini terkait dengan persoalan epistemologis yang akan didiskusikan dalam tulisan berikutnya. Yakni, pandangan keagamaan kita muncul dan dibentuk oleh konteks historis tertentu. Hick memandang penting membedakan antara obyek persepsi dan persepsi itu sendiri. Dalam konteks ini, dia berhutang pada Immanuel Kant yang membedakan antara “noumenon” dan “phenomenon.” Pengaruh Kant ini akan dielaborasi dalam tulisan lain (“Hipotesis Pluralisme Agama”). Cukup disebutkan di sini bahwa, bagi Hick, agama-agama yang beragam dapat dilihat sebagai perbedaan pemahaman fenomenal atas satu “noumenon” yang sebenarnya tak dapat diketahui. Jika perbedaan agama bersifat perspektival, maka tidak masuk akal jika satu agama mengklaim kebenaran mutlak, dan menegasikan kebenaran agama lain. Walaupun dampak revolusi Copernicus terhadap problem keunikan satu agama cukup dahsyat, Hick tidak berhenti di situ. Dalam karya-karya berikutnya, kita dapat mengidentifikasi setidaknya dua perkembangan dalam teologi pluralisme Hick. Perkembangan pertama merupakan reaksinya atas kritik yang diarahkan pada pandangan “Theo-centric”-nya yang ditengarai tidak mengakomodasi tradisi agama yang non-teistik. Agama non-teistik, seperti Budha, tidak menempatkan Tuhan di pusat atau jantung ajaran. Hick menyadari bahwa hipotesisnya sulit menembus agama-agama non-teistik. Berbarengan dengan kepindahannya ke Claremont di awal tahun 1980-an, dia mulai menghindari penggunaan kata “Tuhan” (God/Theo) untuk menggambarkan apa yang menjadi pusat agama. Ada beberapa istilah yang sempat dimunculkan, seperti “the Eternal One”, “the Infinite”, “the Absolute”, “the Transcendent”, “the Divine”, atau “the Ultimate”. Akhirnya Hick merasa cocok dengan istilah “Reality” atau “the Real” atau “al-Haqq” dalam bahasa Arab. Jadi, perkembangan kedua yang dihasilkan revolusi Copernicus setelah dari “Christo-centrism” ke “Theo-centrism” ialah dari “Theo-centrism” menuju “Reality-centrism.” Sebenarnya Hick tidak sedang mencari nama lain untuk Tuhan, melainkan istilah yang dapat memperlihatkan adanya pusat, bukan apa yang ada di pusat. Pergeseran dari “Theo-centrism” menuju “Reality-centrism” masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah “the Real” (Yang Maha Riil) bermanifestasi dalam setiap agama pada level yang sama? Ataukah kehadiran “the Real” dalam satu agama lebih tampak dan jelas dibanding agama lain? Apakah ada cara untuk mengevaluasi keotentikan deskripsi “the Real” dalam masing-masing agama? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggiring Hick untuk merumuskan lompatan paradigmatik berikut: Dari “Reality-centrism” menjadi “Soterio-centrism.” Soteriologi merupakan konsep Kristen terkait jalan keselamatan. Dalam bukunya berjudul Problems of Religious Pluralism (1985), Hick berargumen bahwa otentisitas respons agama-agama terhadap “the Real” dapat diukur dari seberapa efektif jalan keselamatan yang dikembangkannya. Menurutnya, semua agama memiliki struktur soteriologi yang memfasilitasi transisi bagi penganutnya agar menjadi pribadi lebih baik: Dari ego-sentrisme menuju kesadaran pada Yang Maha Riil. Menarik dicatat, kendati mengakui bahwa transformasi keselamatan dalam masing-masing agama tidak sama, Hick tidak percaya agama dapat diukur atau diranking dari efektifitas soteriologisnya. Dari tiga tahapan perkembangan teologi pluralisme Hick (dari “Christo-centrism” ke “Theo-centrism” ke “Soterio-centrism”), kita tak perlu menganggap bahwa ketiganya saling menafikan. Atau, tahapan berikutnya mendelegitimasi yang sebelumnya. Ada tumpang tindih dan kesinambungan dalam pemikirannya, sehingga perbedaan sentrisme perlu dibaca sebagai perkembangan yang bersifat progresif. Dengan melihat konstruksi pluralisme Hick dengan berbagai fasetnya sebagai satu gagasan yang utuh, kita akan dapat mengapresiasi lompatan paradigmatik yang dihasilkan oleh revolusi Copernicus. *** (Munim Sirry)
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|