Shalat Tarawih adalah shalat sunnah di bulan Ramadhan yang dilakukan secara berjamaah. Muslim Syiah tidak melakukan shalat tarawih berjamaah, tetapi melakukan shalat sunnah di bulan Ramadhan yang dilakukan secara sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Mereka menyebutnya qiyamu ramadhan. Mereka meninggalkan shalat tarawih dengan alasan (1) shalat tarawih itu adalah bid’ah yang diciptakan Umar bin Khaththab dan (2) semua shalat sunnah sebaiknya dilakukan di rumah secara munfarid. Dalam hadis-hadis dapat disimpulkan bahwa tarawih memang bid’ah. Nabi Muhammad saw tidak pernah melakukannya, begitu pula Abu Bakar dan Umar pada awal khilafahnya. Yahya bin Bakir menceritakan kepadaku, al-Laits menceritakan kepada kami dari Aqil, dari Ibn Syihab: Urwah mengabarkan kepadaku bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah saw pernah keluar pada sepertiga akhir malam, untuk shalat di dalam masjid dan orang-orang pun mengikuti shalat beliau. Kemudian pada pagi harinya orang-orang membicarakan hal, maka (pada malam harinya) orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian beliau shalat dan orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian beliau shalat dan orang-orang pun mengikuti shalat beliau.
Kemudian pada pagi harinya orang-orang membicarakan hal itu, maka pada malam ketiganya masjid dipenuhi oleh orang banyak. Kemudian Rasulullah saw keluar (ke masjid) dan shalat (seperti biasanya), maka beliau keluar untuk shalat subuh. Ketika selesai mengerjakan shalat subuh, beliau menghampiri orang banyak, lalu beliau mengucapkan kalimat syahadat dan bersabda, “Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya aku tidak melecehkan kalian. Akan tetapi, sesungguhnya aku khawatir, bahwa ia (shalat tarawih berjamaah) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.” Kemudian Rasulullah saw wafat, sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu. Kemudian perkara tarawih itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar (Shahih Al-Bukhari bab “Keutamaan orang yang melaksanakan Qiyamul layl pada bulan Ramadhan”, 3: 58). Dalam riwayat dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berdiri di malam Ramadhan karena iman dan ikhlas diampuni dosa-dosanya yang terdahulu”. Ibnu Syihab berkata: Kemudian Rasulullah saw wafat dan manusia dalam keadaan demikian. Kemudian perkara itu berlaku seperti itu pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar” (Shahih Al-Bukhari 2: 249-250). Ibn Hajar Al-Asqalani menjelaskan kalimat terakhir dengan mengatakan: “Yakni, orang tidak berjamaah dalam tarawih dan Rasulullah saw tidak melakukan shalat malam (qiyamu Ramadhan) secara berjamaah dengan orang banyak” (Fath al-Bari 4: 204). Ibn Hajar Al-Asqalani juga menambahkan: Ahmad meriwayatkan dari Ibn Abi Dzi’b dari Al-Zuhri dalam hadis ini “Rasulullah saw tidak pernah mengumpulkan orang untuk shalat sunnah berjamaah (qiyam)” (Fath al-Bari 4: 252). Al-Qasthulani mengomentari hadis ini: Sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu (artinya meninggalkan shalat berjamaah dalam tarawih). Kemudian perkara tarawih itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar (Irsyad al-Sari 4:656). Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, dia berkata: ”Aku telah membaca di hadapan Malik dari Ibn Syihab dari Urwah mengabarkan kepadaku bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi saw shalat pada suatu malam, maka orang-orang pun mengikuti shalat beliau. Kemudian malam berikutnya, orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian beliau shalat dan orang-orang berkumpul lebih banyak lagi.Kemudian pada malam ketiganya dan keempatnya, namun beliau tidak keluar kepada mereka. Kemudian pada pagi harinya, beliau bersabda:” Sungguh aku melihat yang kalian lakukan, maka sesungguhnya tidak ada yang mencegahku keluar, hanya saja aku khawatir, bahwa ia (shalat tarawih berjamaah) akan diwajibkan kepada kalian”. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan (Shahih Muslim bab 6: 41). Al-Nawawi menjelaskan hadis Muslim: “Ucapan (Kemudian Rasulullah saw wafat, sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu. Kemudian perkara tarawih itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar) artinya: Perkara itu berlangsung dalam periode itu di mana setiap orang menjalankan qiyam Ramadhan sendiri-sendiri (munfarid), sampai berakhir awal khilafah Umar. Umar mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah dengan Imam Ubay bin Ka’ab. Dari situ berlangsunglah terus shalat tarawih berjamaah” (Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim 3: 40). Abdurrahman bin Abdul Qari: aku pernah keluar bersama Umar bin Khattab di bulan ramadhan ke masjid. Ternyata orang-orang saling berpencar dan berpisah-pisah. Ada orang yang shalat sendirian dan ada pula sekelompok orang yang mengikuti shalatnya seseorang. Maka Umar berkata: “Sesungguhnya aku berpandangan sekiranya saja aku kumpulkan mereka di belakang seorang imam, maka sungguh itu lebih baik.” Kemudian Umar bertekad melakukan hal itu. Ia mengumpulkan mereka di belakang seorang imam, yaitu Ubay bin Ka’ab. Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah ini (melakukan shalat tarawih berjamaah). Tetapi orang yang tidur sekarang, lebih utama daripada shalat tarawih”. Yang dimaksud adalah orang yang mengerjakan shalat tarawih di akhir malam lebih utama daripada yang mengerjakannya di awal malam (Shahih al-Bukhari: 2: 252; Al-Muwatha 73; Kanz al-Ummal 8: 408, hadis 23466). Hadis di atas dengan jelas mengungkapkan bahwa shalat tarawih berjamaah itu bid’ah berdasarkan ucapan Umar sendiri: Sebaik-baiknya bid’ah ini. Al-‘Ayni menulis, “Umar menyebutnya bid’ah karena Rasulullah saw tidak pernah mensunnahkannya, juga tidak terjadi pada zaman Abubakar dan Rasulullah saw tidak menganjurkannya (‘Umdat al-Qari 6:126). Al-Asqalani menjelaskan: “Umar menyebutnya bid’ah karena tidak disunnahkan untuk melakukannya dalam jamaah, tidak juga disunnahkan di zaman Abu Bakar, tidak disunnahkan pada awl malam, pada setiap malam, dan tidak dalam bilangan yang tersebut dalam hadis. (Walaupun begitu) qiyamu Ramadhan bukanlah bid’ah, karena Rasulullah saw bersabda: Hendaklah ikuti teladan orang-orang sesudahku: Abu Bakar dan Umar. Dan apabila sahabat-sahabat sudah berijmak bersama Umar padahal demikian, hilanglah nama bid’ah” (Fath al-Bari 4: 252). Ibn Al-Atsir juga menegaskan bahwa tarawih ini bid’ah, tetapi karena bid’ah ini dibuat oleh sahabat, ia menjadi sunnah. Sahabat mempunyai hak untuk membuat syariat baru. Ibn Atsir membela Umar dengan bid’ahnya ketika ia menulis: “Inilah (tarawih) adalah bid’ah yang paling baik. Karena ini perbuatan baik yang pantas dihargai Umar menyebutnya bid’ah dan memujinya. Memang Nabi Muhammad saw tidak pernah mensunnahkannya. Ia pernah melakukannya beberapa malam saja kemudian meninggalkannya. Nabi Muhamamd saw tidak menjalankannya terus-menerus, tidak melakukannya dalam jamaah dengan orang banyak, tidak pada zaman Abu Bakar. Umar yang mengumpulkan orang dan menganjurkannya. Umar menyebutnya bid’ah, tetapi hakikatnya sunnah; karena Nabi Muhammad saw bersabda: Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin sesudahku. Ia juga bersabda: Hendaklah ikuti teladan orang-orang sesudahku: Abu Bakar dan Umar (Al-Nihayah 1: 106, 107). Apa pun yang dilakukan untuk membenarkan bid’ah tarawih, semua ulama Sunni sepakat bahwa Umar adalah “pencipta” shalat tarawih. Dalam biografi (tarjamah) Umar, Ibn Sa’ad menulis: Umarlah orang pertama yang mensunnahkan qiyam ramadhan dengan tarawih dan dilakukan secara berjamaah. Ia juga mengirimkan surat ke berbagai penjuru negeri untuk melakukannya pada bulan Ramadhan tahun 14 Hijriah (Al-Thabaqat al-Kubra 3:281). Ibn Abd al-Birr menulis: Umar yang menyinari bulan puasa dengan shalat genap atau tarawih (Al-Isti’ab 3:1145). Al-Ya’qubi berkata: Pada tahun ini (14 H.) Umar mensunnahkan qiyam Ramadhan dan menulis surat ke berbagai negeri. Ia menyuruh Ubayy bin Ka’ab dan Tamim al-dari sebagai imam. Dikatakan kepadanya: Rasulullah saw tidak pernah melakukannya. Abu Bakar juga tidak melakukannya. Umar berkata: Kalau ini bid’ah, inilah bid’ah yang paling baik (betapa baiknya bid’ah ini)! (Tarikh al-Ya’qubi 2: 130). Jalaluddin al-Suyuthi menulis tentang “kepertamaan” (awwaliyat) Umar bin Khathab: Dialah yang pertama diberi gelar Amirul Mukminin. Dialah yang pertama mensunnahkan tarawih. Dialah yang pertama mengharamkan mut’ah. Dialah yang pertama menshalatkan jenazah dengan empat takbir (karena yang disunnahkan Nabi Muhammad saw lima takbir). (Tarikh al-Khulafa, 136). Shalat-shalat sunnah harus dilakukan munfarid. Rasulullah saw menganjurkan untuk melakukan shalat sunnah di rumah sendirian. Dengan begitu, ia memberikan bagian keberkahan shalat untuk rumahnya. Ia juga menghindarkan “riya” jika ia melakukan shalatnya di masjid, di depan banyak orang. Shalat sunnah juga adalah kesempatan untuk bermunajat–berduaan--dengan Allah Swt. Lebih dari itu, shalat sunnah sebaiknya dilakukan sendirian karena perintah Rasulullah saw: dari Ibn Mas’ud: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Mana yang lebih utama-shalat di rumahku atau di masjid? Beliau bersabda: Tidakkah kamu perhatikan rumahku, betapa dekatnya dengan masjid. Sekiranya aku shalat di rumahku pasti aku lebih mnyukainya daripada shalat di masjid, kecuali untuk shalat yang diwajibkan. Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah, Ibn Khuzaimah dalam shahihnya (Al-Mundziri, Al-Targhib wa al-Tarhib, ta’liq Musthafa Muhammad ‘Imarah, 1: 379). Dari Abu Musa: Serombongan orang dari Irak menemui Umar, Ketika mereka datang mereka bertanya tentang shalat orang di rumahnya. Umar berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw dan ia bersabda: Shalat orang di rumahnya adalah cahaya. Terangilah rumah kamu! Diriwayatkan Ibn Khuzaimah dalam shahihnya (Al-Mundziri, Al-Targhib 1:379; Kanz al-‘Ummal 8:384, hadis 2336). Umar ditanya tentang shalat di masjid. Ia berkata: Rasulullah saw bersabda: yang fardhu di masjid, yang sunnah di rumah (Kanz al-‘Ummal 8: 384, hadis 23363). Ibn Qudamah menulis: Shalat sunnah lebih utama dilakukan di rumah, karena sabda Nabi Muhammad saw, “Shalatlah di rumah kamu, karena sebaik-baiknya shalat orang adalah shalat di rumahnya kecuali shalat fardhu” (Hadis Muslim). Dari Zaid bin Tsabit bahwa sesuungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda: Shalat orang di rumahnya lebih baik dari shalatnya di masjidku ini kecuali shalat wajib. Hadis Abu Dawud (Muwaffaiq al-Din bin Qudamah, Al-Mughni 1: 775). Masih dari Ibn Qudamah: “Malik dan Syafii berpendapat: Qiyam Ramadhan di rumah bagi yang mampu lebih aku cintai (daripada shalat sunnah di masjid). Zaid bin Tsabit berkata: Rasulullah saw membuat kamar kecil yang terbuat dari kain tambalan atau tikar (di dalam masjid). Lalu, Rasulullah saw keluar dan shalat di dalam kamar itu. Kemudian orang mengikuti shalat beliau. Kemudian pada malam hari,mereka datang ke masjid, tetapi Rasulullah saw tidak keluar pada mereka. Kemudian mereka mulai menaikkan suara mereka dan melempari pintu rumah Nabi saw dengan batu kerikil. Rasulullah saw keluar menemui mereka dalam keadaan murka. Beliau bersabda: Kalian terus menerus melakukan perbuatan kalian (mengerjakan shalat sunnah berjamaah) sehingga aku menduga ia akan diwajibkan kepada kalian. Shalatlah di rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat ialah shalat di rumah kecuali shalat fardhu. Diriwayatkan oleh Muslim (Al-Mughni 1:800; lihat redaksi yang sama pada Shahih al-Bukhari 7:99, Bab “Boleh murka dan bertindak keras demi perintah Allah”, Kanz al-‘Ummal, hadis 21541, 21543, 21545). ***
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|