Dari tulisan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pluralisme bukan relativisme. Sampai batas tertentu, relativisme merupakan respons terhadap keragaman agama yang paling lemah dan tak dapat dipertahankan. Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, masalah yang dihadapi relativisme ialah tidak adanya standar apapun untuk menentukan klaim-klaim kebenaran dalam setiap tradisi keagamaan. Yakni, bagaimana kita tahu bahwa suatu klaim itu benar. Bagi kalangan relativis, semuanya bersifat relatif dan tak ada ukuran menentukan mana yang benar. Berbeda dengan relativisme, pluralisme jelas memiliki standar epistemik untuk mengukur kebenaran suatu klaim. Sebab, bagi kaum pluralis (pendukung model pluralisme apapun), kebenaran yang dipahami para pemeluk agama yang beragam merupakan refleksi dari Kebenaran Absolut. Dengan kata lain, pluralisme memiliki metafisika yang menjadi dasar standar epistemik itu. Penjelasan tentang standar itu memang berbeda antara satu pluralis dan pluralis lain. John Hick, misalnya, mengadopsi metafisika “fenomena/numena,” sebagaimana akan didiskuskan dalam buku ini.
Sekali lagi, kalangan pluralis tidak berhenti dengan mengatakan bahwa “pada akhirnya, semua agama di dunia adalah benar.” Mereka juga mengatakan bahwa “masing-masing agama menyediakan jalan keselamatan yang berbeda dan perspektif parsial tentang Kebenaran Absolut.” Dengan demikian, pluralisme tidak mengabaikan perbedaan antar-agama dan pemahaman manusia yang beragam tentang Yang Riil (the Real, al-Haqq). Yang menarik dicatat ialah tuduhan bahwa kaum pluralis menganut paham relativisme biasanya dilancarkan oleh kaum absolutis. Absolutisme sebenarnya berpijak pada proposisi yang tidak terlalu kontroversial. Yakni, bahwa ada dasar untuk menentukan salah atau benar. Misalnya, angka 4 lebih rendah dari angka 5. Kita punya dasar untuk membenarkan klaim itu. Dan klaim kebenaran tersebut bersifat universal. Namun, sikap absolutis menjadi bermasalah ketika diterapkan pada paham keagamaan yang bersifat metafisik. Nah, tulisan ini akan mendiskusikan di mana letak masalahnya dan menjelaskan argumen kaum absolutis serta memperlihatkan kelemanannya. Di bagian akhir akan diajukan argumen kenapa pluralisme merupakan alternatif bukan hanya terhadap relavitisme, melainkan juga absolutisme. Saya mengakui bahwa absolutisme agama cukup atraktif dan menarik hati kaum beragama, termasuk dan terutama di kalangan masyarakat “awam” (maaf, saya menggunakan kata ini). Salah satu alasannya ialah karena absolutisme memberikan kepastian. Agama saya benar, dan agama lain yang berbeda dengan agama saya adalah salah dan harus ditolak. Kepastian tentang kebenaran agamanya dikaitkan dengan kesalahan agama lain. Jadi, sikap absolutis bukan sekadar terkait kebenaran agamanya sendiri, tapi juga dibarengi dengan sikap eksklusif terhadap agama lain. Karenanya, kalau kita telusuri klaim-klaim absolutis, maka akan tampak beranjak dari satu tahap ke tahap berikutnya sebagai berikut: Dari “Agama saya adalah satu-satunya agama yang benar” menjadi “Agama saya lebih baik atau superior dari agamamu,” dan kemudian menjadi “Saya lebih baik dari kamu karena saya menganut satu-satunya agama yang benar.” Rentetan kaim tersebut menjelaskan kenapa sikap superioritas yang bersumber dari pemahaman keagamaan absolutis kerap menjadi pemicu ketegangan dalam hubungan lintas agama. Tentu saja, absolutisme agama tidak serta-merta berujung pada konflik kekerasan, penindasan kaum minoritas, atau bahkan tindakan terorisme. Asumsi adanya kausalitas antara absolutisme dan terorisme jelas tidak didukung oleh fakta. Sebab, sebagian besar kaum beragama (baca: Muslim) menganut paham absolutis, tapi sebagian besar mereka ternyata tidak mendukung penindasan dan terorisme. Namun, adalah juga fakta bahwa mereka yang meledakkan bom di Gereja, misalnya, atau yang mempersekusi golongan minoritas berasal dari kaum absolutis. Absolutisme beragama ini bukan hanya bermasalah ketika dikaitkan dengan hubungan antar-agama. Sikap merasa paling benar merupakan sumber ketidakadilan dalam kehidupan. Coba lihat di sekitar kita. Kaum absolutis akan bersikap tidak adil bahkan diskriminatif terhadap orang atau kelompok yang tidak sependapat dengan mereka. Absolutisme juga tidak bersahabat dengan kesetaraan gender, karena menetapkan satu norma (misalnya, terkait hubungan laki-laki dan perempuan) sebagai bersifat absolut. Sebenarnya problem utama dari absolutisme, sebagaimana juga relativisme, adalah soal epistemologi. Jika ada Kebenaran Absolut, maka pemahaman (manusia) terhadap Kebenaran itu pastilah absolut juga. Proses berpikir semacam itu jelas bermasalah. Sebab, pandangan tersebut tidak membedakan antara “Kebenaran Absolut” dan “pengetahuan kita yang bersifat relatif.” Sekarang saya akan mengelaborasi argumen kalangan absolutis. Bagi kelompok absolutis, kebenaran berada dalam genggaman mereka. Mereka mengklaim telah memiliki kebenaran absolut. Dari mana kebenaran absolut tersebut diperoleh? Ada dua kemungkinan: Mereka mengklaim pendapatnya benar mutlak berdasarkan (1) sumber fondasional agama, misalnya al-Qur’an atau Alkitab, atau (2) pendapat ulama atau Gereja atau pastor yang dianggap otoritatif. Kemungkinan pertama sudah jelas bermasalah. Bagaimana mungkin mereka tahu bahwa pemahaman mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki atau dimaksud oleh Tuhan sendiri? Biasanya ketika ditanya pendapat tentang isu-isu tertentu, kaum absolutis langsung mengutip ayat-ayat dari Kitab Suci seolah-olah ayat-ayat tersebut menjelaskan secara gamblang dan tidak perlu ditafsirkan. Saya akan menyebut kecenderungan absolutisme seperti itu sebagai problem kemalasan intelektual. Absolutisme membatasi jangkauan kemungkinan ragam penafsiran yang dapat dihasilkan oleh otak manusia. Kaum absolutis cenderung menolak kemungkinan penafsiran yang berbeda. Tentu saja, sikap semacam itu bukan hanya ahistoris, melainkan juga absurd. Kenyataannya, para ulama telah menafsirkan ayat-ayat secara beragam. Kitab-kitab tafsir itu berjilid-jilid karena penafsiran mereka yang beragam dari satu generasi ke generasi berikutnya. Juga, mazhab-mazhab fikih cukup beragam. Mereka yang mengenal tradisi ikhtilaf di kalangan fuqaha akan menyadari bahwa hampir tak ada satu masalah fikih pun yang disepakati oleh para ulama. Kemungkinan kedua (kebenaran absolut berdasarkan pandangan ulama/pastor yang otoritatif) memiliki dua kemungkinan juga. Pertama, kaum absolutis menganggap ulama-ulama otoritatif di masa lalu atau Gereja (bagi Kristiani) telah mengakses kebenaran langsung dari Tuhan. Atau, kedua, mereka tidak menganggap pandangan ulama/Gereja pasti benar. Jika mereka mengikuti kemungkinan kedua, maka dengan sendirinya pandangan absolutisme mereka gugur. Sebab, sumber absolutisme mereka ternyata tidak absolut. Yang perlu didiskusikan ialah jika kaum absolutis berpegang pada kemungkinan pertama: Ulama dan Gereja pasti benar. Pandangan ini akan menggiring mereka untuk berpendapat bahwa para ulama dan/atau bapak-bapak Gereja merupakan orang-orang maksum (infallible), tidak bisa berbuat salah. Suatu pandangan yang kemungkinan akan ditolak oleh kalangan absolutis sendiri. Kita juga dapat ulang pertanyaan epistemik yang sudah disebutkan di atas: Darimana mereka tahu bahwa para ulama atau bapak-bapak Gereja tahu Kebenaran Absolut? Mereka akan terpaksa memilih kemungkinan kedua, bahwa mereka tidak tahu atau tidak dapat memastikan. Pada akhirnya, kita (manusia) memang perlu rendah hati terkait pemahaman kita sendiri. Itulah sikap kerendah-hatian yang dapat kita pelajari dari pluralisme: Menerima kemungkinan bahwa pendapat kita benar atau salah. Disadari atau tidak, pendukung absolutisme agama menerima kenyataan bahwa pendapat mereka punya kemungkinan salah. Jika menolak kenyataan ini, mereka telah memposisikan diri sebagai Tuhan, pemilik Kebenaran Absolut. Mereka mengklaim kebenaran absolut yang sebenarnya hanya milik Tuhan. Sampai di sini kiranya sudah jelas bahwa absolutisme agama tidak punya basis filosofis yang kuat, karena pada akhirnya mereka juga menerima kerendah-hatian pluralistik. Yakni, tidak mengabsolutkan satu pendapat di tengah-tengah keragaman pandangan. Absolutisme ialah bentuk arogansi dalam beragama. Dan arogansi merupakan kegagalan moral manusia yang tidak menempatkan diri sebagai makhluk yang lemah di hadapan Yang Maha Rill. Bertolak-belakang dengan absolutisme, pluralisme mempersilahkan pemeluk agama punya komitmen kokoh terhadap kebenaran agamanya, tapi jangan arogan merasa telah memonopoli kebenaran. Sebab, kebenaran yang kita pahami dipengaruhi dan dibentuk oleh level pengetahuan, situasi sosio-historis, dan faktor-faktor lain yang melingkupi kita. Penting bagi kaum beragama untuk berpegang teguh pada keabsahan dan validitas norma-norma dalam agamanya, tanpa bersikukuh bahwa norma-norma tersebut adalah satu-satunya yang valid secara universal. Saya berharap tulisan ini telah mendemonstrasikan pandangan keagamaan pluralis sebagai alternatif terhadap absolutisme dan relativisme. Pluralisme merupakan jalan tengah antara dua sikap keberagamaan ekstrem itu. Memang, kerja-kerja intelektual merumuskan pluralisme yang melewati jalan di antara relativisme dan absolutisme masih terus berlangsung. Seperti tersaji dalam buku ini, ikhtiar-ikhtiar teoretis pendukung pluralisme agama persis menukik ke jantung persoalan itu: Menempatkan pluralisme di antara relativisme dan absolutisme. Tentu saja, teori yang mereka kembangkan cukup beragam, bahkan tampak saling bersaing. Bukahkah dinamika itu yang diperlukan supaya kita dapat beragama secara dinamis?*** (munim sirry)
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|