Pada saat Idul Fitri dalam media sosial ada yang meminta penjelasan tentang puasa di bulan Syawal dalam fikih Ahlulbait. Puasa ini dalam fikih Ahlussunah masuk kategori dianjurkan (sunah). Karena itu, biasanya kaum Muslim Indonesia di daerah dan pedesaan melakukan puasa pada hari kedua bulan Syawal selama enam hari. Dalam Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd Andalusi (Pustaka Amani Jakarta tahun 2002, jilid satu bab iv puasa sunat, halaman 691-705) tercantum hadis riwayat puasa Syawal dari Bukhari dan Muslim, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan lalu diringi puasa enam pada bulan Syawal, seolah-olah dia berpuasa setahun penuh.” Menurut Ibnu Rusyd bahwa (Imam) "Malik tidak mengakui hadis tersebut, mungkin karena khawatir puasa yang bukan Ramadhan itu dianggap Ramadhan atau karena hadis tersebut tidak sampai kepadanya, atau karena dianggap tidak sahih" (halaman 694). Meski tidak diakui oleh Imam Malik, tetapi jumhur ulama Ahlussunah mengakui ada puasa sunah Syawal setelah puasa Ramadhan yang dilakukan pada hari kedua bulan Syawal sampai tuntas enam hari. Yang masih ikhtilaf yaitu terkait dengan berurutan atau bisa terpisah-pisah pelaksanaan puasanya selama bulan Syawal. Dalam puasa sunah (mustahab) ini ketentuan imsak dan ifthar, termasuk hal-hal yang membatalkan, sama seperti ketentuan puasa di bulan suci Ramadhan. Hanya saja niatnya berpuasa sunah. Kemudian jika seorang sahabat dan saudara mengajak Anda makan atau menyajikan makanan dan minuman saat berkunjung, dan Anda saat itu berpuasa maka dianjurkan untuk berbuka puasa (ifthar). Pendapat Grand Al-Azhar Ulama Ahlussunnah dari Mesir, Maulana Syaikh Ali Jumah dalam Al-Fātāwā al-Ramadhāniyah (halaman 76-77) menyatakan banyak para ulama yang berpendapat bahwa jika waktu puasa wajib bersamaan dengan waktu puasa sunah, maka cukup dengan melaksanakan puasa wajib saja bisa memberi keutamaan puasa sunah ini kepada sang pelaku puasa wajib. Lebih jauh Syaikh Ali Jumah menulis: “Namun ia TIDAK BOLEH berniat ganda, yaitu dengan menggabungkan niat puasa sunah dengan niat puasa wajib qadha’ Ramadan, karena setiap amal ibadah memiliki niatnya tersendiri. Maka tidak boleh mengumpulkan niat puasa sunah dengan puasa wajib dalam satu niat.Oleh karena itu, seorang Muslimah boleh mengganti puasa Ramadan pada bulan Syawal dan secara otomatis ia mendapat pahala puasa sunah Syawal, sekali pun tanpa diniatkan puasa sunah. Ya, dia telah dinyatakan puasa enam hari bulan Syawal dan mendapat keutamaannya hanya dengan melaksanakan enam hari atau lebih dari puasa Ramadan yang wajib ia ganti, karena ia telah mengisi enam hari PUASA DI SYAWAL (puasa qadha). Dalil pendapat ini adalah qiyas, yaitu menyamakan puasa sunah Syawal dengan shalat sunah tahiyatul masjid (shalat sunah karena masuk masjid). Orang yang masuk masjid lalu mendirikan shalat wajib atau shalat sunah rawātib, secara otomatis ia telah mendapat pahala shalat sunah tahiyatul masjid meski tanpa diniatkan, karena ia telah SHALAT DI MASJID sebelum ia duduk, dan shalat ini cukup sebagai tahiyatul masjid.” Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh al-Bujairami, tokoh mazhab Syafii berkata: “Shalat sunah tahiyatul masjid bisa didapatkan keutamaanya dengan melakukan shalat lain, dua rakaat atau lebih, baik shalat wajib atau sunah, baik disertakan niatnya bersamaan shalat lain atau tidak, sesuai hadis yang diriwatkan Imam Bukhari dan Muslim (yaitu): Jika kamu masuk masjid maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat. Hal ini karena maksud utama tahiyatul masjid ialah mendirikan shalat sebelum duduk, dan tujuan ini terwujud meski dengan shalat lain. Juga, tujuan tahiyatul masjid adalah mengisi ruang masjid dengan shalat, dan tentunya tujuan ini terealisasi meski dengan shalat selain tahiyatul masjid.” Menurut Syaikh Ali Jumah, “begitu pun dengan puasa sunah Syawal, tujuannya adalah mengisi waktu bulan Syawal dengan puasa. Dan hal ini telah terwujud dengan adanya qadha’ puasa wajib Ramadan pada bulan Syawal.” Menurut ulama Ahlulbait Selain dianjurkan oleh fukaha Ahlussunah, puasa di bulan Syawal juga tercantum dalam fikih Ahlulbait berdasarkan fatwa dari Marja Taqlid (meski dinyatakan tidak memiliki dalil yang jelas) sebagai berikut: (1) Seyed Seyed Hosseini Nassab yang berkedudukan di Canada (melalui inbox facebook Seyed Hosseini Nassab) menyatakan satu hari setelah Idul Fitri dengan jumlah enam hari (One day after eidul fitr, six days). (2) Syaikh Nasir Makarem Shirazy di Iran (melalui chat WA Makarem Shirazy Official) menyatakan boleh melakukan puasa untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu setelah Idul Fitri (It is permissible to fast the month of Shawwal with the intention of gaining Thawaab except for the first day which is Eid al-Fitr). (3) Sayyid Muhammad Rida al-Musawi al-Gulpaygani dalam Mukhtasar al-Ahkam (Penerbit Markaz Ahlulbait, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, tahun 1993; halaman 116-117) bahwa puasa mustahab bulan Syawal mulai hari keempat selama enam hari. Begitu juga dengan Sayyid Ali Sistani dari Irak menyatakan kalau ingin berpuasa di bulan Syawal maka dapat dimulai pada hari keempat dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Sesuai dengan fatwa: السؤال: هل ورد استحباب حول صوم ستة أيام من شهر شوال؟ الجواب: الروايات الدالة على استحباب صيام ستة أيام من شوال غير نقية السند. ومن اراد الاتيان به رجاء ـ متتابعاً أو متفرقاً ـ فليبدأ فيه بعد مضي ثلاثة أيام من يوم العيد ، فإنه قد ورد في بعض النصوص المعتبرة النهي عن الصيام بعد الفطر ثلاثة أيام معللاً أنها أيام اكل وشرب. Dalil riwayat kemustahaban puasa enam hari pada bulan syawal tidak sharih (tidak jelas). Jika ingin melakukannya dapat dilakukan dengan niat raja'an, baik dilakukan secara berturut-turut maupun tidak, hendaknya dimulai setelah tiga hari dari idul fitri (yakni hari keempat syawal) karena disebutkan pada beberapa nash (dalil) yang muktabar dilarang berpuasa setelah idulfitri tiga hari karena hari tersebut adalah untuk makan dan minum ( https://www.sistani.org/arabic/qa/02368/ ). Kemudian untuk melengkapi pernyataan di atas, kami sertakan dari Islamasil (www.islamasil.com) bahwa: Ayatullah Sistani Hf: Riwayat-riwayat yang menunjukkan pada kesunnahan puasa enam hari di bulan syawal, sanadnya tidak jelas (pasti). Dan adapun yang ingin melakukannya hendaknya dengan niat rajaa-an (mengharap ridha Allah), baik dilakukan berturut-turut, atau selang seling, dan hendaknya mulai melakukannya setelah berlalu tiga hari dari hari idul fitri. Hal itu karena telah disebutkan di beberapa nash yang mu'tabar pelarangan mengenai puasa tiga hari setelah idul fitri, dengan penjelasan bahwa tiga hari tersebut merupakan hari-hari makan dan minum. Ayatullah Khamenei Hf: Kesunnahan secara khusus untuk puasa pada bulan syawal pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-9 tidak dapat dibuktikan. Tetapi, tidak masalah melakukannya bila dengan niat qurbatan ilallah. Dan ada pun puasa pada hari ke-2 dan hari ke-3 tidak diperbolehkan. Demikian informasi terkait dengan puasa di bulan syawal berdasarkan fikih Ahlulbait yang dirujuk dari para ulama (mujtahid). Demikian uraian ringkas berkenaan dengan puasa bulan Syawal menurut ulama Ahlussunah dan ulama Ahlulbait. Lengkapnya Anda dapat merujuk langsung pada buku-buku fikih atau bertanya pada ulama yang memiliki keilmuannya di atas para ustadz. Mohon senantiasa mendoakan kami agar senantiasa berada dalam kebaikan dan perlindungan Allah dari ketergelinciran dalam menunaikan ibadah dan menyampaikan syiar Islam ini. *** (Misykat)
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
March 2024
Categories
All
|