Kemarin sore sempat baca beberapa halaman kitab “Hajar wa Isma’il” ini. Di bagian pendahuluan berjudul “madkhal antropologi li-qira’ah usturah isma’il wa hajar” (pengantar antropologis dalam membaca mitos Isma’il dan Hajar), Fadil al-Rabi’i menyebut observasi menarik tentang keyakinan permulaan bahasa Arab sebagai awal dari pemisahan historis antara Islam dan Yahudi. Mengapa kaum Muslim menyakini bahasa Arab muncul bersama Isma’il ketika memisahkan dari keluarga Ibrahim? Rabi’i menelusuri bagaimana bahasa Arab berasal dari “bahasa airmata” (lughah al-dumu’) hingga menjadi “bahasa ahli surga.” Tentu, itu semua mitos! Karena belum selesai baca kitab ini, saya tak akan mengulas lebih lanjut. Yang ingin saya tulis ialah bagaimana kisah keluarga Ibrahim dipresentasikan dan diinterpretasi dalam tiga tradisi: Yahudi, Kristen dan Islam. Perbedaan deskriptif dalam ketiga agama sebenarnya menarik. Tapi yang juga menarik, dan kerap diabaikan, ialah keragaman interpretatif dalam masing-masing agama itu sendiri.
Al-Qur’an tidak menyebutkan kisruh keluarga Ibrahim ketika Hajar diusir dari rumah Ibrahim. Kitab Kejadian 16 berbicara detil bagaimana Sarah (saat itu masih bernama Sarai) mempersilahkan Ibrahim memperistri Hajar. Setelah Hajar hamil, dia merasa dilangkahi sehingga tersinggung. Dia mendesak Ibrahim (waktu itu masih bernama Abram) untuk mengusir Hajar. Walaupun akhirnya Hajar kembali lagi ke rumah Ibrahim hingga akhirnya melahirkan anak Isma’il, kecemburuan Sarah tak bisa dibendung. Kejadian yang biasa terjadi pada anak kecil ketika bermain bersama kerap menjadi masalah, hingga akhirnya Hajar dan anaknya yang menginjak usia remaja memisahkan diri. Dalam literatur Yahudi, aspek yang ditonjolkan ialah karakter moral figur Sarah sebagai model perempuan yang penuh pengorbanan bagi suami. Dia mengikuti ke mana suami pergi, kendati tahu akan menghadapi banyak kesulitan. Ketika menyadari dirinya tidak bisa hamil, dia mempersilahkan suami kawin lagi. Banyak alasan dikemukakan dalam literatur Yahudi untuk menjustifikasi perlakuan Sarah terhadah Hajar. Di balik idealisasi Sarah ialah, di satu sisi, keimanan bahwa anak Sarah, yakni Ishaq, merupakan penerima warisan kovenan Ibrahimi yang darinya kaum Yahudi menjadi umat pilihan. Di sisi lain, Hajar tidak dianggap menjadi bagian kelompok etnik tertentu. Karenanya, Hajar (demikian juga Isma’il) menjadi figur yang termarjinalkan. Misalnya, Hajar digambarkan sebagai anak Fir’aun atau Namrud. Semua itu dimaksudkan untuk memberikan kesan bahwa Hajar besar dalam keluarga kesyirikan. Dalam pembacaan Kristen, kisah Sarah dan Hajar biasanya dimaknai secara alegorikal (majazi). Origen, Ephrem atau Agustinus tidak memahami kisah itu secara literal. Origen, misalnya, menyebut Hajar dan Sarah itu sebagai proses mencari pengetahuan atau kebijaksanaan. Hajar merepresentasikan proses awal, dan pengetahuan/kebijakan yang sebenarnya ada dalam Sarah. Paulus membedakan antara Sarah dan Hajar dengan ilustrasi Sarah sebagai Yerusalem surgawi, dan Hajar Yerusalem duniawi. Dia juga menyebut Sarah sebagai Gereja atau Kristen, sementara Hajar sebagai Sinagog atau Yahudi. Dengan pembacaan alegoris seperti ini, Bapak-bapak Gereja awal menjadikan kisah Sarah dan Hajar sebagai pernyataan polemik melawan kalangan Yahudi. Pembacaan alegoris serupa dikembangan Bapak-Bapak Gereja dalam memahami kisah pengorbanan Ishaq. Ishaq itu dipahami sebagai model bagi penyaliban Yesus. Ishaq dikorbankan untuk memenuhi ketataan, Yesus juga demikian untuk menyelamatkan umat manusia. Dalam dunia kesarjanaan, pembacaan seperti itu disebut “typological reading.” Dari kata “type” yang berarti model. Yakni, suatu peristiwa dipahami sebagai model yang kelak akan dipenuhi oleh atau melalui Yesus. Istilah kerennya juga “rekonfigurasi.” Dalam Islam, pembacaan tipologis ini bukan tidak ada. Kalangan Syi’ah (terutama periode awal) kerap membaca kisah pengorbanan Ishaq secara tipologis, yang terpenuhi dalam pengorbanan Husain di Karbala. Para mufassir Syi’ah dan Sunni awal sebenarnya bersepakat bahwa anak Ibrahim yang dikorbankan adalah Ishaq, tapi kemudian pada periode belakangan berubah pandangan menjadi Isma’il. Sekarang jika ditanyakan kepada kalangan Sunni dan Syi’ah, siapakah anak yang dikorbarkan Nabi Ibrahim? Jawabnya sudah pasti: Isma’il. Dan mereka akan menuduh pihak yang menyebut Ishaq sebagai sesat. Seperti yang pernah saya katakan dulu: Apa yang sekarang menjadi paham ortodoksi belum tentu dulunya demikian adanya. Yang kerap terjadi ialah pandangan ortodoks sekarang tapi dulu dianggap pandangan marjinal. Kenapa berubah menjadi Isma’il? Adakah pengaruh keyakinan tentang bahasa Arab yang dianggap bermula dari Isma’il? Saya punya teori sendiri, tapi ingin tahu bagaimana Fadil al-Rabi’i menjawab pertanyaan itu. *** (Munim Sirry)
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|