Dalam status sebelumnya disebutkan “Perbedaan deskriptif dalam ketiga agama sebenarnya menarik. Tapi yang juga menarik, dan kerap diabaikan, ialah keragaman interpretatif dalam masing-masing agama itu sendiri.” Untuk melihat keragaman internal ini saya akan tulis perspektif Syi’ah tentang kisah pengurbanan anak Ibrahim. Seperti halnya tradisi Sunni, kalangan Syi’ah awal meyakini bahwa Ishaq merupakan anak Ibrahim yang dikurbankan. Kitab-kitab tafsir Syi’ah merekam versi Ishaq yang dikurbankan dan juga Ismail yang menjadi kurban. Yang unik dalam tradisi Syi’ah ialah soal lokasi di mana pengurbanan Ishaq terjadi. Kitab-kitab Sunni umumnya tidak menyebutkannya.
Soal lokasi tersebut, mudahnya begini: Mereka yang meyakini Ismail yang dikurbankan akan mengatakan peristiwa pengurbanan terjadi di Mekah. Mereka yang mengatakan ishaq akan menyebut Yerusalem sebagai tempat pengurbanan. Yang menarik adalah sejumlah mufassir Syi’ah awal menarasikan bahwa pengurbanan Ishaq terjadi di Mekah, bukan di Yerusalem. Dalam versi yang diriwayatkan oleh Qummi, Tabarsi, Bahrani dan Majlisi (kendati ada beberapa variasi kecil), malaikat mengajarkan Ibrahim bagaimana melakukan ritual haji. Pada hari Tarwiyah, malaikat menyuruh Ibrahim minum air (irtawi min al-ma’), “minumlah air.” Maka hari itu disebut hari tarwiyah. Kemudian Ibrahim dibawa melakukan manasik haji di Mina dan Arafah, hingga akhirnya dia diperintahkan atau bermimpi diperintahkan mengurbankan Ishaq. Kisah selanjutnya ialah dialog antara Ibrahim dan Ishaq sebagaimana direkam dalam Quran surat al-Shaffat itu, terutama dari ayat 102. Juga disebutkan godaan setan, baik terhadap Ibrahim maupun Sarah supaya mereka mengurungkan niatnya menyembelih anak tersayangnya, Ishaq. Dalam Kitab Kejadian (Genesis) 22, disebutkan bahwa peristiwa pengurbanan itu dilakukan di daerah Moriah. Lalu, kenapa kalangan Syi’ah menyebut Mekah? Dan kenapa ishaq yang dikurbankan di Mekah, bukan Ismail? Saya akan jawab dua pertanyaan ini. Soal lokasi: Daerah pegunungan Moriah menjadi bersejarah bagi tiga agama (Yahudi, Kristen dan Islam). Awalnya memang karena daerah tersebut diasosiasikan dengan kisah pengurbanan Ishaq yang menjadi simbol kepatuhan kepada perintah Tuhan. Dalam Alkitab disebutkan Sulaiman membangun kuilnya di atas bukit itu juga. Di daerah pegunungan itu pula sekarang terletak masjid al-Aqsa dan Kubah Shakhra’. Saat berada di Yerusalem tahun lalu, saya melihat (atau diperlihatkan) jejak-jejak warisan penguasa wilayah di Yerusalem dari berbagai masa yang berbeda. Asosiasi “kesucian” pegunungan Moriah dengan kisah Ibrahim dan pengurbanan anaknya memang sangat kental. Tak heran jika para penganut agama awal yang menjadikan Ibrahim sebagai “bapak monoteisme” mengaitkan kesucian lokasinya dengan peristiwa tersebut. Misalnya, kaum Samaritan yang menjadikan pegunungan Gerizim sebagai tanah suci juga mengaitkannya dengan kisah Ibrahim. Dalam konteks itu bisa dipahami mengapa kalangan Syi’ah mengasosiasikan pengurbanan ishaq dengan Mekah. Ibrahim kerap dikaitkan dengan tempat-tempat suci, seperti Beer Sheba, Shekhem, atau Hebron. Dan kalangan Syi’ah menambah satu lagi, yakni Mekah. Apalagi tradisi pengurbanan atau pengorbanan cukup dikenal di Arabia sebelum Islam muncul, termasuk kaitannya dengan ritual haji. Setelah Islam datang, beragam bentuk ritual itu mengalami proses Islamisasi. Maka, cukup masuk akal jika kisah pengurbanan Ishaq juga mengalami proses Islamisasi yang sama, yakni dipindah lokasinya dari Yerusalem ke Mekah. Pertanyaan berikutnya: Kenapa dinarasikan Ishaq, bukan Isma’il? Pertanyaan ini lebih sulit dijawab ketimbang yang pertama tadi. Jika pemindahan lokasi dari Yerusalem ke Mekah itu merupakan bagian dari proses Islamisasi sebuah narasi, bukankah lebih masuk akal jika yang dikurbankan adalah Isma’il bukan Ishaq. Apalagi dalam Qur’an Isma’il dikaitkan dengan pendirian Ka’bah. Barangkali, barangkali lho ya, kalangan Syi’ah awal mengasosiasikan peristiwa pengurbanan dengan Ishaq, bukan Isma’il, sebagai “bentuk protes” terhadap kalangan Sunni yang sejak abad ke-3 atau 4 Hijriyah mulai bergeser pada Isma’il dengan keyakinan bahwa Isma’il merupakan bapaknya orang-orang Arab. Kita tahu, kalangan Syi’ah umumnya berasal dari etnik non-Arab, yakni Persia (Iran). Mereka kerap mengalami persekusi dan beragam diskriminasi yang dilakukan oleh para penguasa Arab. Sejalan dengan klaim Isma’il sebagai bapaknya orang Arab, etnik Arab tampil superior. Dalam situasi seperti itu “Ishaq yang non-Arab” dapat menjadi “bahasa protes” terhadap kalangan Sunni yang “meng-Arab-kan Isma’il. Di sini tampak jelas betapa penafsiran keagamaan sangat diwarnai oleh konteks historis di mana dan kapan tafsir itu muncul. Poin terakhir ini, saya kira, sulit dibantah, walaupun penjelasan saya tentang dua pertanyaan di atas terbuka untuk diperdebatkan. *** (Munim Sirry)
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|