Beberapa waktu yang lalu muncul dalam media sosial yang menyebutkan Sunni dan Syiah itu beda, bahkan menyatakan Syiah bukan Islam. Tentu pernyataan ini datang dari orang yang tidak paham sejarah dan tidak belajar ilmu Kalam (teologi Islam). Jelas bahwa Sunni dan Syiah adalah mazhab yang diikuti umat Islam dalam beragama. Mazhab sebagai jalan dan cara dalam beragama, meski kedua mazhab ini mengambil dasar pemikirannya dari Kitabullah dan Hadis Rasulullah Saw. Syiah dan Sunni, keduanya masih bagian agama Islam sebagaimana disepakati ulama dan cendekiawan sedunia di Jordania tahun 2005 yang dideklarasikan dalam Risalah Amman. Pengikut Syiah dan Sunni dalam shalat masih menghadap Kabah, menunaikan haji ke Makkah, mengucapkan syahadatain dan meyakini Allah sebagai Tuhan serta Muhammad bin Abdullah sebagai Rasul Allah, berpedoman pada Al-Quran sebagai rujukan utama dalam beragama, dan melaksanakan puasa Ramadhan serta bayar zakat. Semua prinsip Islam yang tercantum dalam rukun Iman diyakini dan rukun Islam pun dilaksanakan. Sehingga tidak ada alasan kaum Muslim Syiah dianggap bukan Islam. Mereka itu Muslim yang beda dari konsep kepemimpinan agama setelah wafat Rasulullah Saw. Muslim Syiah percaya bahwa 'Ali bin Abu Thalib ra ditetapkan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai washiy, mawla, dan khalifah umat Islam setelahnya. Aspek ini yang beda dengan Muslim Sunni dan ada banyak kesamaan di antara keduanya seperti dalam tradisi beragama.
Dalam tradisi beragama, Muslim Syiah hampir sama dengan pengikut Sunni di Indonesia dari Nahdlatul Ulama (NU). Kaum Muslim Syiah senantiasa membaca shalawat ketika disebut nama Nabi Muhammad saw, membaca surah pilihan seperti Yaasin dan doa Kumayl setiap malam Jumat, menyelenggarakan tahlilan ketika ada yang wafat, membaca doa tasawul setiap Selasa malam Rabu dan melafalkan dzikir pagi dan sore dari doa yang tercantum dalam kitab Shahifah Sajjadiyyah dan Mafatihul Jinan. Muslim Syiah menjalankan puasa Nisfu Sya’ban dan mengisi malamnya dengan ibadah semalam suntuk dengan doa dan shalat sunah, membaca doa pada hari Rebo Kasan (Rabu terakhir bulan Shafar), berpuasa sunah (ayyamul bidh), menggelar acara duka cita untuk cucu Rasulullah saw setiap 10 Muharram (Asyura), dan ziarah pada hari Arbain (empat puluh hari wafat Imam Husein di Karbala). Ziarah oleh kaum Syiah dilakukan tidak hanya kepada Imam yang sudah wafat dan para ulama, tetapi kepada Rasulullah saw dengan membaca doa-doa ziarah secara khusus dari kitab Mafatihul Jinan. Bahkan, ada yang mengajurkan membaca doa ziarah kepada Rasulullah saw dan Ahlulbait setiap selesai shalat wajib yang lima dan dilanjutkan dengan doa. Dan sudah menjadi tradisi bahwa kaum Muslimin Syiah memuliakan Rasulullah saw dan Ahlulbait dengan merayakan hari kelahiran mereka (maulid)[1] dan hari wafat Rasulullah saw beserta Ahlulbait yang diisi dengan doa ziarah dan majelis ilmu tentang sejarah kehidupan Ahlulbait. Dari tradisi wiladah dan syahadah ini, kaum Muslim Syiah secara tidak langsung diajak untuk mengenal sekaligus mengambil teladan dari orang-orang suci tersebut. Hal ini juga dilakukan sebagian kaum Sunni yang biasanya melakukan tradisi maulid dan haul untuk ulama besar yang telah wafat dengan diisi lantunan shalawat dan pembacaan Al-Quran disertai doa. Sekadar contoh di perkampungan Tatar Sunda ada kebiasaan melantukan shalawat al-kisa, yaitu li khamsatun utfi bihaa, haral wabail khatimah, al-musthafa wal murtadha, wabnahuma wal fathimah. Shalawat ini dalam tradisi mazhab Syiah sebagai bentuk permohonan kepada Allah agar terhindar dari segala musibah dengan menyertakan nama-nama orang suci dari keluarga Rasulullah saw. Lantunan al-kisa ini sering dibacakan ketika tiba rabu terakhir bulan Shafar dan di daerah Garut (Jawa Barat) biasanya dilantunkan saat akan menjelang adzan maghrib. Kemudian di Kota Gede, Yogyakarta, terdapat tradisi pembuatan jenang sura sebagai bentuk menolak bahaya setiap bulan Muharram. Setiap tanggal 10 Muharram, ada ketentuan dari Kraton bahwa setiap malam suro tidak diperkenankan menyalakan lampu dan dianjurkan tidak beraktivitas layaknya sedang berkabung.[2] Kemudian warga Aceh dan Jawa membuat bubur merah dan putih yang disebut bubur suro atau kanji asyura. Bubur putih melambangkan Al-Hasan yang wafat dengan diracun dan bubur merah melambangkan Al-Husain yang bersimbah darah karena dibantai pasukan Dinasti Umayyah. Di Bengkulu setiap tanggal 1-10 Muharram diselenggarakan kegiatan tabot berupa usungan keranda berhias warna warni yang dalam aktivitasnya menyebut nama Al-Husein. Di Padang Pariaman, terdapat Hoyak Tabuik Hosein setiap 10 Muharram. Sama seperti di Bengkulu, orang-orang yang terlibat dalam prosesi budaya Hoyak Tabuik Hosein menyeru nama Al-Husein.[3] Selanjutnya dii keraton Cirebon, terdapat bendera kerajaan dan patung kraton (istana) raja terdapat lambang pedang Imam Ali yang bernama zulfiqar dan dua macan di kanan kiri pintu kraton. Macan dan pedang tersebut merepresentasikan keperkasaan Ali bin Abu Thalib. Juga ada mitos pertemuan Kean Santang (ada yang menyebut Rakean Karang) dengan Ali yang menyebabkannya memeluk agama Islam kemudian menyebarkannya saat kembali ke Tatar Sunda. Tidak aneh jika tradisi di Tatar Sunda ada yang mirip atau mungkin dipengaruhi dari mazhab Syiah.[4] Bahkan untuk beberapa daerah di Jawa Barat dan Banten, umat Islam saat menjelang Idul Fitri membayar zakat kepada ulama atau kiai setempat. Praktik ini memiliki kesamaan dalam mazhab Syiah bahwa Muslim Syiah saat membayar zakat dan khumus diserahkan kepada ulama Mujtahid (Marja’ Taqlid) atau melalui wakilnya yang telah ditunjuk untuk menerima dan menyalurkannya sesuai dengan aturan fiqih.[5] Tentu ini memerlukan kajian khusus dalam bentuk riset budaya dan keagamaan di masyarakat Indonesia. *** (Misykat) Catatan: [1] Dalil tentang Maulid bisa dibaca pada buku Sirah Nabawiyah karya Dr Ajid Thohir (Bandung: Marja Nuansa Cendekia, 2015) halaman 190-195. [2] Siti Maryam, Damai Dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syiah dalam Komunitas Ahlussunah Waljamaah di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang & Kementerian Agama RI, 2012) halaman 189-190. [3] Harapandi Dahri, Tabot: Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Citra, 2009) halaman 49. [4] Lebih jauh tentang tradisi yang dipengaruhi paham dari mazhab Syiah bisa dibaca karya Muhammad Zafar Iqbal, Kaflah Budaya: Pengaruh Persia terhadap Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Citra, 2006). [5] Tentang fiqih seperti zakat dan khumus dalam Mazhab Syiah bisa membaca karya Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Imam Jafar Shadiq (Jakarta: Lentera, 2004), atau langsung merujuk risalah amaliyah (Islamic Rules) dari Marja’ seperti Sayyid Ali Khamenei, Sayyid Ali Sistani, Ayatullah Jannaati, Sayid Kamal Haydari, Sayyid Alhakim, Syaikh Nasir Makarim Syirazi, Syaikh Jafar Subhani, Ayatullah Huseini Nasab, dan lainnya.
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|