Dalam status terdahulu, saya mengatakan membaca beberapa riwayat bahwa di kalangan Khawarij ada kelompok yang menganggap surat Yusuf tidak termasuk bagian dari al-Qur’an. Kemudian saya katakan sedang mempelajarinya lebih jauh. Kenapa? Karena ketika membaca riwayat itu dalam “Maqalat al-Islamiyyin” karya Abu al-Hasan al-Asy’ari, saya mendapati pendiri teologi ahlusunnah wal-jama’ah itu mengaku belum dapat memastikan kebenaran berita tersebut. Seperti terlihat dalam SS, dia menulis: “hukiya lana ‘anhum ma-lam natahaqqaqhu (Ada riwayat sampai kepada kami tentang mereka [kelompok Khawarij Maimuniyah], yang belum dapat kami konfirmasi).”
Saya sangat menghargai sikap al-Asy’ari itu: Kalau tidak tahu ya bilang tidak tahu. Orang sekaliber beliau saja bersikap rendah hati, lalu siapalah kita ini. Jadi, tidak perlu sok tahu. Maka, saya ingin mempelajarinya lebih jauh. Saya ingin mengerti duduk persoalannya. Langkah paling awal yang saya tempuh ialah membaca kitab-kitab yang secara khusus membahas sekte Khawarij. Di antaranya saya baca karya Ibnu ‘Abbad berjudul “al-Kasyf ‘an manahij ashnaf al-khawarij.” Kitab ini sudah diedit dan diterbitkan tahun 1968. Jika berminat, bisa dibaca di maktabah al-syamilah. Dalam kitab ini, Ibnu ‘Abbad memerinci ajaran kelompok Khawarij Maimuniyah, termasuk pandangannya bahwa “وَأَن سُورة يوسُفَ ليستْ من القرآنِ )surat Yusuf tidak termasuk bagian dari al-Qur’an).” Artinya, surat Yusuf itu ditambahkan belakangan. Tidak ada penjelasan rinci terkait pandangan Khawarij ini, misalnya, dari mana, kapan dan bagaimana/kenapa surat itu dimasukkan ke dalam al-Qur’an. Setelah itu saya menelusuri ke kitab-kitab heresiografi, yakni kitab yang mendiskusikan sekte-sekte yang pernah muncul dalam tradisi Islam. Misalnya, “al-Milal wa al-nihal”nya Syahrastani atau “al-Firaq al-muftariqah” karya Abu Muhammad al-Iraqi. Dari dua kitab ini saya belajar bahwa memang ada kelompok Khawarij yang menganggap surat Yusuf tidak termasuk dari al-Qur’an. Apakah berhenti sampai di situ? Tidak. Jika kita punya kesadaran historis atau hendak menggunakan pendekatan kritik-historis, kita tidak boleh hanya menjadi penukil atau sekadar mengutip riwayat dan menerima informasi begitu saja. Dalam kitab yang saya shared beberapa waktu lalu itu disebutkan: “Seorang sejarawan seharusnya bersikap sebagai kritikus, bukan pengutip.” Artinya, diperlukan epistemological skepticism. Itu bahasa kerennya. Pembaca yang punya kesadaran historis perlu bersikap skeptis. Apa benar berita ini? Bagaimana cara memverifikasinya? Setelah membaca kesaksian Syahrastani, al-Iraqi dan lainnya, saya munculkan kecurigaan investigatif: Jangan-jangan Syahrastani cs. mendapatkan informasi itu dari karya al-Asy’ari, yang sebenarnya belum terkonfirmasi? Pelacakan historis yang didasarkan pada epistemologi skeptik memang berbeda dengan sikap teologis yang menolak apapun pandangan atau riwayat yang bertentangan dgn keyakinan. Pendekatan teologis seperti ini akan cenderung dismisif terhadap pandangan yang berbeda, dan hanya akan membatasi pencarian bukti-bukti (historis?) yang mendukung keyakinan yang sudah dimiliki, bahkan sebelum melakukan pelacakan. Namun demikian, tidak berarti teologi itu pasti ahistoris. Saya sendiri meyakini berteologi dengan kesadaran historis itu akan lebih kokoh. Kaum beriman perlu memahami perkembangan gradual dari ajaran yang diimaninya. Dengan kesadaran historis, kita akan beragama secara lebih rileks. Sebab, dengan mengetahui adanya pergeseran sepanjang sejarah, kita akan menyadari ruang gerak yang dinamis terbuka luas dalam beragama. Hal serupa akan kita rasakan ketika dihadapkan dengan pertanyaan yang menjadi judul status ini: Apakah ada penambahan dalam al-Qur’an? Tentu, banyak cara menjawab pertanyaan tersebut. Sebagian orang akan menolak keras: Tidak ada penambahan. Titik. Bahkan, akan ada orang/kelompok yang menyalahkan kenapa pertanyaan seperti itu dimunculkan: Wah ini berbahaya karena meragukan al-Quran sebagai wahyu yang terjaga! Wah ini membuka celah bagi non-Muslim untuk menyerang Islam! Jalan yang saya pilih berbeda. Pertanyaan tersebut akan terasa asyik jika ditilik secara historis. Sebab, jawabannya membutuhkan upaya serius melacak sekte-sekte awal Islam yang berkontestasi terkait ada-tidaknya penambahan ke dalam al-Qur’an. Jika ditelusuri melalui metode kritik-historis yang tepat, pertanyaan itu akan mengantarkan kita memahami proses historis bagaimana suatu pandangan menjadi ortodoksi sementara yang lain hilang, dan kenapa hal itu terjadi. Sebenarnya ada proses cukup panjang kenapa pertanyaan itu muncul dan bagaimana saya sampai pada pandangan Khawarij. To make a long story short: Awalnya saya membaca penegasan ulama-ulama ortodoks bahwa tidak ada penambahan dalam al-Qur’an. Kemudian muncul pertanyaan: Kenapa perlu ada penegasan seperti itu? Kalau membaca penjelasan tentang al-Qur’an, kita selalu temukan penekanan bahwa tidak ada pengurangan (nuqshan) dari al-Quran, tidak ada modifikasi (tabdil/taghyir), dan tidak ada penambahan (ziyadah). Penolakan terhadap tesis “pengurangan” atau “modifikasi” kemungkinan diarahkan pada kelompok Syi’ah awal, seperti saya tulis dalam status sebelumnya. Tapi ketika menekankan tidak ada penambahan, siapa atau kelompok apa yang kemungkinan menjadi sasaran dari penolakan tersebut? Alam pikiran saya berkata bahwa penolakan ulama-ulama ortodoks tentang adanya penambahan dalam al-Qur’an tidak mungkin muncul dalam ruang hampa. Sangat mungkin mereka bereaksi terhadap kelompok atau orang tertentu yang mengatakan ada insersi ke dalam al-Qur’an sesuatu yang dianggapnya bukan bagian darinya. Jadi, ketika mufassir al-Qurtubi menulis dalam tafsirnya “وَادَّعَى أَنَّ عُثْمَانَ وَالصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ زَادُوا فِي الْقُرْآنِ مَا لَيْسَ فِيهِ )Ada orang menuduh bahwa Usman dan sahabat yang diridai Allah menambahkan ke dalam al-Qur’an sesuatu yang bukan bagian darinya),” dia sedang mengutuk keberadaan orang yang mengatakan demikian. Namun, Qurtubi tidak menyebut identitas orang itu. Karena tidak disebutkan orangnya, maka muncul keingintahuan: Siapakah orang/kelompok yang mengatakan ada penambahan dalam al-Qur’an. Dalam tafsirnya, Qurtubi menyebut banyak contoh kalimat atau frasa-frasa yang dituduhkan telah ditambahkan ke dalam al-Qur’an. Silakan cek. Tentu saja, dia menolaknya secara keras. Menurutnya, mereka yang mengatakan ada penambahan dalam al-Qur’an telah menjadi kafir, kecuali jika mereka bertobat. Argumenya? Ya penegasan al-Qur’an sendiri, yakni Q 15:9 itu, kemudian dia menulis bahwa Allah telah menjaga al-Quran dari perubahan, modifikasi, penambahan dan pengurangan (لِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ حَفِظَ الْقُرْآنَ مِنَ التَّغْيِيرِ وَالتَّبْدِيلِ وَالزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ. Begitulah argumen teologis-normatif bekerja! Setelah membaca tafsir al-Qurtubi ini, saya bertanya siapa gerangan orang/kelompok yang mengatakan ada penambahan dalam al-Qur’an dan apa yang ditambahkan? Persisnya, siapa mengatakan apa? Pertanyaan ini mendorong saya menelusuri berbagai sumber hingga akhirnya mengantarkan pada kelompok Khawarij yg mengatakan surat Yusuf bukan bagian dari al-Quran. Saya masih terus belajar dan membaca untuk mengetahui apakah informasi tentang pandangan Khawarij tersebut dapat dipercaya dan kenapa mereka mengatakan apa yang mereka katakan. Dalam prosesnya saya sering menemukan kejutan-kejutan yang membuat saya tersenyum. Misalnya, ada riwayat yang menyebutkan kelompok Khawarij menolak surat Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an karena adanya kisah sensual dalam surat itu. Ah, koq saya jadi membahas hal begini. Ini gara-gara mengomentari statusnya mas Sam Ardi dua hari lalu. Saya cukupkan saja. Mari jangan berhenti membaca! *** Sumber: FB Munim Sirry (6/11/2023)
0 Comments
Leave a Reply. |
Risalah Amman (kesepakatan ulama dan cendekiawan seluruh dunia tahun 2005 di Yordania):"Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. " Archives
April 2024
Categories
All
|